METODOLOGI
STUDI ISLAM
Oleh:
Dr. Hamid Fahmy Zarkasy,M.Phil
learning islamMetodologi pengkajian Islam
adalah pendekatan (approach) atau kerangka kerja (framework) dalam memahami
atau mengkaji Islam. Metolodogi pengkajian bukan hanya metode pengajaran (thariqah
al-tadris atau thariqah al-ta’lim) atau cara penyampaian suatu materi atau
subjek agar dapat dipahami murid atau mahasiswa. Metodologi lebih tepat
dipahami sebagai manhaj al-fikri atau manhaj al-dirasah yang tercermin di dalam
struktur silabus dan kandungan masing-masing mata kuliah.
Pada sekitar separuh kedua abad 20 metodologi
pengkajian Islam mengalami pergeseran yang cukup penting. Hal ini disebabkan
oleh suatu kenyataan bahwa Islam dikaji oleh muslim dan juga non-muslim.
Kajian yang dilakukan oleh non-Muslim,
khususnya oleh orientalis, sedikit banyak dipengaruhi secara sosiologis oleh
cara pandang dan pengalaman manusia barat dan secara saintifik oleh
perkembangan metodologi penelitian atau penyelidikan dalam ilmu-ilmu sosial di
Barat.
Metodologi orientalis ini secara
perlahan-lahan mempengaruhi metodologi pengkajian Islam di Perguruan Tinggi.
Hal ini karena timbulnya kecenderungan di kalangan cendekiawan muslim belajar
kepada orientalis di Barat atau membajirnya buku orientalis sebagai alternative
bacaan cendekiawan muslim. Dalam situasi seperti ini, pengkajian Islam dengan
pendekatan tradisional telah tercampur, kalau tidak disaingi, oleh pendekatan
orientalis.
Tapi yang pasti kajian orientalis itu berbeda
dengan kajian para ulama dalam tradisi intelektual Islam. Kajian orientalis
tidak berdasar keimanan (faith based) sehingga tidak selalu dapat bersikap
adil.
Artinya, ketika mengkaji Islam mereka tidak
dapat memahami dan meletakkan suatu konsep dalam tradisi intelektual Islam
sebagai bagaian dari struktur konsep yang tercermin dalam pandangan hidup
Islam. Konsep ilmu yang dalam Islam berdimensi iman dan amal, misalnya dipahami
sebagai ilmu dan diperoleh hanya dengan rasio. Karena kehilangan dimensi iman
maka ilmu tidak lagi berguna dan berkaitan dengan taqarrub kepada Allah. Karena
konsep ilmu tidak diletakkan sebagai bagaian dari struktur konseptual Islam,
maka ilmu tidak lagi berhubungan lagi dengan amal.
Demikianlah, kerancuan-kerancuan itu begitu
banyak dan saling berkaitan. Sehingga pembuktiannya memerlukan kajian
konseptual yang panjang. Bagi yang tidak membaca secara kritis, kajian
orientalis akan Nampak rasional dan obyektif serta sejalan dengan tuntutan ilmu
keilmuan kontemporer, tapi secara konseptual mengandung kerancuan-kerancuan.
Oleh sebab itu, sedalam apapun ilmu yang
dituntut dengan pendekatan ini tidak akan mencapai keimanan dan tidak
mempengaruhi kualitas keagamaan seseorang. Apalagi, cara pandang orientalis
sendiri itu sudah tentu diwarnai oleh bias-bias kultural, politik (Lihat Edward
Said, Orientalism Vintage, New York, 1979, 1-3, 5) tradisi dan kepercayaan
(lihat Asaf Husein et al, Orientalism, Islam, and Islamist, Vermont, Amana
Books, 1984, hlm. 15) yang merupakan pandangan hidup (worldview) mereka.
Dengan pandangan hidup barat yang terkenal
dengan doktrin dualisme, dikotomis dan sekularisme itu maka pandangan orientalis terhadap Islam bersifat
parsial. Kajian-kajian dalam syari’at tidak berkaitan dengan akidah, kajian
akidah tidak dikaitkan dengan akhlak.
Demikian pula kajian filsafat, politik,
ekonomi, kebudayaan dan sebagainya terlepas dari kajian terhadap konsep-konsep
seminal dalam al-Qur’an. Demikian pula kajian al-Qur’an tidak berdasarkan ilmu
metodologi tafsir, tapi justru menggunakan metodologi Bibel.
Akhirnya, wajah pengkajian Islam berubah
menjadi dua atau dalam perspektif yang serba dualistis: normatif atau historis,
tekstual atau kontekstual, literal atau liberal dan sebagainya. Hal ini
tercermin dari pernyataan Charles J. Adams dibawah ini:
…in contrast to the strong, indeed almost
exclusive, textual and philological orientation of traditional Islamic studies,
we have in this volume papers that deal, for example, with such subjects as
Islamic worship, popular religious practice and the many-faceted significance
of Qur’anic recitation in the daily lives of pious Muslim. The emphasis falls
upon an exposition of Islam as it is experienced and lived by members of
community.
Although the ideal forms of a normative Islam
are not lost to sight, the recognition is brought to bear that the reality of
religion has its locus in the experience of the devotee and that scholars must,
above all else, subject themselves to that experience. (Richard C. Martin (ed),
Approach To Islam In Religious Studies, Oneworld, Oxford, 2001, viii-ix).
Kutipan diatas menunjukkan suatu asumsi akan
adanya jenis-jenis pendekatan terhadap Islam. Pendekatan bersifat tekstual dan
ekslusif (traditional Islamic studies), pendekatan sosiologis (Islam as it is
experienced and lived) dan pendekatan Islam normatif (ideal form of a normative
Islam).
Pendekatan seperti itu sah-sah saja asalkan
merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan. Masalahnya, dengan pendekatan
seperti itu akan muncul Islam yang diamalkan dan Islam yang diajarkan, atau dengan
kata lain Islam akan terbagi-bagi menjadi Islam historis dan Islam normatif,
Islam sebagai agama dan Islam sebagai pemikiran keagamaan, yang pertama
absolute yang kedua relatif.
Akibat pendekatan seperti ini maka teks (nass)
dengan konteks sosial yang selalu berubah dipertentangkan. Karena pendekatan
sosial lebih menonjol maka teks (nass) al-Qur’an pun tidak lagi dibaca secara
filologis, tapi dengan metodologi hermeneutika. Metode ini menjanjikan
interpretasi-interpretasi sosiologis, politis, psikologis, ontologis dan
historis dan sebagainya.
Dengan pendekatan ini otomatis makna-makna
teks dalam tradisi intelektual Islam menjadi bermasalah. Pendekatan seperti ini
menjadi semakin populer di kalangan cendekiawan Muslim akhir-akhir ini,
khususnya ketika doktrin-doktrin postmodernisme seperti relativisme, pluralisme
dan anti otoritas dianggap sebagai sesuatu yang tidak “haram” diterapkan dalam
pengkajian Islam.
Meski pendekatan ini pada prakteknya cenderung
dekonstruktif terhadap metodologi tradisional beberapa cendekiawan Muslim yang
pro-Barat malah menganggapnya sebagai pemikiran alternatif, pemikiran baru atau
pembaharuan pemikiran Islam (tajdid).
Sekedar contoh marilah kita lihat bagaimana
perjalanan pemahaman orientalis mempengaruhi pemikir Muslim. Para orientalis
dari generasi ke generasi menyatakan bahwa al-Qur’an adalah karangan Muhammad.
Hal ini dapat dibaca dari pernyataan G.Sale,
[Dalam bukunya The Quran: Commonly called al-Qur’an:Preliminary Discoursei,
(1734)], Sir William Muir [Dalam bukunya Life of Mahomet (1860)], A.N.
Wollaston [Dalam bukunya The Religion of The Koran (1905)], H. Lammens,
[Dalam Islam Belief and Institution
(1926)], Champion & Short [Dalam bukunya Reading from World Religious Fawcett,
(1959),] JB. Glubb, [Dalam bukunya The Life and Time of Muhammad (1970)] dan M.
Rodinson [Dalam bukunya Islam and Capitalism (1977)]. Dan tidak ketinggalan
pula Montgomery Watt dalam Muhammad: Prophet and Statesman menyatakan bahwa
al-Qur’an adalah produk dari imajinasi kreatif Nabi Muhammad (Product of
Creative Imagination). (Asaf Hussain, “The Ideology of Orientalism”, hlm.
15).Pemahaman orientalis diatas diterjemahkan oleh Muhammad Arkoun menjadi
begini: al-Qur’an adalah wahyu Tuhan tapi ia diucapkan oleh Muhammad dan dengan
bahasa Muhammad sebagai manusia biasa.
Senada dengan itu seorang cendekiawan Muslim
liberal dari Mesir bernama Nasr Hamid Abu Zayd menyatakan bahwa karena
al-Qur’an turun dalam ruang sejarah Arab maka ia adalah produk budaya Arab
(muntaj thaqafi).Implikasi ide ini adalah bahwa al-Qur’an bukan firman Allah
yang suci dan perlu disucikan dan disakralkan dan karena itu umat Islam tidak
terlalu fanatik berpegang pada al-Qur’an; dan agar umat Islam mau menafsirkan
al-Qur’an tanpa takut-takut, karena ia hanya perkataan manusia biasa.
Jadi dengan hanya sebuah pengandaian atau
asumsi (assumption) bahwa al-Qur’an tidak diturunkan secara lafdhan tapi secara
ma’nan, maka metodologi dan framework pengkajiannya bisa berubah sama sekali
dan bisa bertentangan dengan metodologi tradisional.
Kesimpulannya akan berakibat pada sikap dan
perlakuan kita terhadap teks (nass) dan boleh jadi mengakibatkan desakralisasi
teks dan bahkan dekonstruksi makna teks. Metodologi seperti ini tentu bukan
pengembangan yang merujuk kepada tradisi intelektual dalam Islam, tapi lebih
merupakan perubahan atau penggantian framework yang belum tentu bebas dari
kerancuan.
Maka dari itu perlu upaya-upaya yang
mempertahankan dan juga mengembangkan dan bukan merubah metodologi tradisional
seperti yang digambarkan diatas. Dan tuduhan bahwa para ulama dahulu yang
dituduh melulu menggunakan pendekatan tekstual eksklusif dan tidak kontekstual
serta statis perlu dipertanyakan.
0 komentar:
Posting Komentar