Filsafat Ilmu Islami : Manusia Bisa
Tahu Yang Benar
Oleh:
Dr. Syamsuddin Arif (Peneliti Insists)
Manusia normal pada hakikatnya dapat
mengetahui kebenaran dengan segala kemampuan dan keterba-tasannya. Ia juga bisa
memilih (ikhtiyar) dan memilah (tafriq), membedakan (tamyiz), menilai dan
menentukan (tahkim) mana yang benar dan mana yang salah, mana yang berguna dan
mana yang berbahaya, dan seterusnya.
‘Kemampuan’ yang dimaksud adalah kapasitas
manusia lahir dan batin, mental dan spiritual, dengan segala bentuk dan
rupanya. Ada pun ‘keterbatasan’ merujuk pada keterbatasan intrinsik manusiawi
maupun ekstrinsik non-manusiawi, Keterbatasan yang dimiliki manusia meskipun
ada, tidak sampai berakibat gugurnya nilai kebenaran maupun keabsahan atau
validitas dari ilmu itu sendiri. Sedangkan kondisi ‘normal’ yakni keadaan
seorang yang sempurna (tidak cacat) dan sehat (tidak sakit atau terganggu),
baik fisik maupun mentalnya, jasad dan ruhnya, terutama sekali akal dan hati
(qalb)-nya.
Maka dalam diskursus Filsafat Ilmu yang
Islami, mengetahui (‘ilm) dan mengenal (ma‘rifah) bukan sesuatu yang mustahil.
Pendirian kaum Muslimin Ahlus Sunnah wal-Jama’ah dalam soal ini disimpulkan
oleh Abu Hafs Najmuddin ‘Umar ibn Muhammad an-Nasafi secara ringkas: haqa’iqul
asyya’ tsabitah, wal-ilmu biha mutahaqqiqun, khilafan lis-sufistha’iyyah
(Lihat: Matan al-‘Aqa‘id dalam Majmu‘ Muhimmat al-Mutun, Kairo: al-Matba ‘ah
al-Khayriyyah, 1306 H).
Ditegaskan bahwasanya hakikat, kuiditas atau
esensi dari segala sesuatu itu tetap sehingga bisa ditangkap oleh akal minda
kita. Hakikat segala sesuatu dikatakan tidak berubah karena yang
berubah-ubah itu hanya sifat-sifatnya, a’rad, lawahiq atau lawazim-nya
saja, sehingga ia bisa diketahui dengan jelas. Sebagai contoh, manusia bisa
dibedakan dari monyet, ayam tidak kita samakan dengan burung, atau rotidengan
batu. Maka ilmu tentang kebenaran tidak mustahil untuk diketahui oleh manusia
sebagaimana ditegaskan dalam kitab suci
al-Qur’an surah az-Zumar (39:9): “…. katakanlah: Apakah sama, orang yang
mengetahui dan orang yang tidak mengetahui?”
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah:
Bagaimana cara, dengan apa atau dari ilmu apa dapat diketahui dan dipastikan? Meminjam formulasi
wacana filsafat modern: How is knowledge possible? Jawaban pertanyaan ini
adalah ilmu diperoleh melalui tiga sumber, yaitu persepsi indera (idrak
al-hawass), proses kognitif akal yang sehat (ta‘aqqul) termasuk intuisi (hads),
dan melalui informasi yang benar (khabar shadiq). Demikian ditegaskan oleh
Sa‘duddin at-Taftazani, Syarh al-‘Aqa‘id an-Nasafiyyah, cetakan Istanbul:
al-Matba’ah al- ‘Uthmaniyyah, 1308 H.
Permasalahan tersebut juga disinyalir dalam
al-Qur’an surat an-Nahl (16):78, Qaf (50):37, al-A’raf (7): 179, Ali ‘Imran
(3):138, dan masih banyak lagi. Persepsi inderawi yang digunakan manusia untuk
memperoleh ilmu meliputi kelima indera (pendengar, pelihat, perasa, penyium,
penyentuh), di samping indera keenam yang disebut al-hiss al-musytarak atau
sensus communis, yang menyertakan daya ingat atau memori (dzakirah), daya
penggambaran (khayal) atau imajinasi, dan daya perkiraan atau estimasi (wahm)
(Silakan lihat: Imam al-Ghazali, Ma‘arij al-Quds ila Madarij Ma‘rifat an-Nafs,
Beirut, 1978). Sedangkan proses akal mencakup nalar (nazar) dan alur pikir
(fikr), seperti dinyatakan oleh Imam ar-Razi dalam kitab Muhassal Afkar
al-Mutaqaddimi wa 1-Muta’akhkhirin, cetakan Kairo: al-Matba’ah al-Husayniyyah,
1969. Dengan nalar dan pikir ini manusia bisa berartikulasi, menyusun
proposisi, menyatakan pendapat, berargumentasi, melakukan analogi, membuat
putusan dan menarik kesimpulan. Selanjutnya, dengan intuisi ruhani seseorang
dapat menangkap pesan-pesan ghaib, isyarat-isyarat ilahi, menerima ilham, fath,
kasyf, dan sebagainya.
Selain persepsi indera dan proses akal sehat,
sumber ilmu manusia yang tak kalah pentingnya adalah khabar sadiq, yakni
informasi yang berasal dari atau disandarkan pada otoritas. Sumber khabar
sadiq, apalagi dalam urusan agama, adalah wahyu (Kalam Allah dan Sunnah
Rasul-Nya) yang diterima dan ditransmisikan(ruwiya) dan ditransfer (nuqila)
sampai ke akhir zaman.Mengapa hanya khabar sadiq yang diakui sebagai sumber
ilmu? Mengapa tidak semua informasi bisa dan atau harus diterima? Lantas kapan
suatu proposisi, informasi, pernyataan, ucapan, pengakuan, kesaksian, kabar
mesti ditolak? Apa patokan dan ukurannya? Jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan
ini pun telah dirumuskan oleh para ulama ahli hadis dan usul fiqh.
Secara umum, khabar atau kabardalam arti
berita, informasi, cerita, riwayat, pernyataan, atau ucapan, berdasarkan nilai
kebenarannya dapat diklasifikasikan menjadi kabar benar (shadiq) dan kabar
palsu (kadzib). Sebagian ulama bahkan berpendapat pemilihan ini perlu
diperjelas lagi dengan kriteria ‘dengan sendirinya’ (bi-nafsihi atau lidzatihi)
yakni tanpa diperkuat oleh sumber lainnya, dan ‘dengan yang lain’ (bi-ghayrihi)
yakni karena didukung dan diperkuat oleh sumber lain. Khabar shadiq menurut
Imam an-Nasafi, al‘Aqa’iddibedakan menjadi dua macam. Pertama, khabar mutawatir, yaitu informasi
yang tidak diragukan lagi karena berasal dan banyak sumber yang tidak mungkin
bersekongkol untuk berdusta. Maka kabar jenis ini merupakan sumber ilmu yang
pasti kebenarannya (mujib li l-’ilmi d-dharuri). Kedua, informasi yang dibawa
dan disampaikan oleh para Rasul yang diperkuat dengan mukjizat. Informasi
melalui jalur ini bersifat istidlali dalam arti baru bisa diterima dan diyakini
kebenarannya (yakni menjadi ilmu dharuri alias necessary knowledge) apabila
telah diteliti dan dibuktikan terlebih dulu statusnya. Keterangan Imam
an-Nasafi ini menggabungkan aspek kualitas dan kuantitas narasumber.
Penting sekali diketahui bahwa tidak semua
informasi atau pernyataan yang berasaldari orang banyak bisa serta-merta
dianggap mutawatir. Mengingat implikasi epistemologisnya yang sangat besar,
para ulama telah menetapkan sejumlah syarat sebagai patokan untuk menentukan
apakah sebuah kabar layak disebut mutawatir atau tidak. Berkenaan dengan khabar
al-wahid atau khabar al-ahad, para ulama juga telah menetapkan persyaratan yang
cukup ketat, tidak hanya untuk nara sumbernya, tapi mencakup isi pesan yang
disampaikannya, serta cara penyampaiannya. Maka sebuah kabar yang membawa ilmu
mesti diklasifikasi juga berdasarkan kualitas sumber-sumbernya, siapa pembawa
atau penyebarnya atau orang yang mengatakannya, lalu bagaimana kualifikasi
serta otoritasnya (sanad atau isnadnya).
Sikap kritis terhadap sumber dan isi ilmu
dalam juga perlu dilakukan terhadap sumber intern masyarakat Islam sendiri. Hal
ini dapat dilacak dan sejarah keilmuan Islam sejak kurun pertama Hijriyah.
Sayyidina Abu Bakar as-Siddiq, ‘Umar ibn al-Khattab dan Ali ibn Abi Talib
terkenal sangat berhati-hati dalam menerima suatu laporan atau khabar dari para
Sahabat mengenai ucapan, perbuatan ataupun keputusan yang ditetapkan Rasulullah
SAW. Untuk menepis kemungkinan terjadinya tindakan pemalsuan dan dusta atas
nama Rasulullah SAW, para khalifah bukan hanya melakukan pemeriksaan seksama
(tatsabbut) dengan cara meminta minimal dua orang saksi (istisyhad) dan
menuntut sumpah (istihlaf, bahkan juga mengimbau agar orang tidak gampangan
mengeluarkan hadith (iqlal fi r-riwayah). Untuk ini kita bisa merujuk kitab
Hujjiyyat as-Sunah karya ‘Abd al-Ghani
‘Abd al-Khaliq, Washington: International Institute of Islamic Thought, 1986.
Sikap selektif terhadap sumber ilmu yang
dikembangkan menjadi metode isnad ternyata masih sangat relevan dalam tradisi
intelektual di jaman modern ini. Pentingnya metode ini dapat dirujuk kepada
pernyataan ulama salaf ‘Abdullah ibn al-Mubarak (w. 181 H 797 M): “Tanpa
sandaran otoritas, niscaya setiap orang akan berbicara tentang apa saja
sesuka-hatinya (lawla l-isnad, laqala man sya’a ma sya’a).” Sedangkan Abu
Hurayrah r.a., Ibn ‘Abbas r.a., Zayd ibn Aslam, Ibn Sirin, al-Hasan al-Basri,
ad-Dhahhak, Ibrahim an-Nakha’i pun telah berpesan: “Sesungguhnya ilmu ini
adalah agama. Karena itu, perhatikanlah dengan siapa kalian berguru dalam soal
agama (inna hadza-l-’ilma dinun, fa unzhuru ‘amman ta’khudhuna dinakum). (Imam
Abu Hatim Muhammad ibn Hibban, kitab al-Majruhin min al-Muhaddithin wa
d-Dhu‘afa’ wa l-Matrukin, cetakan Aleppo: Dar al-Wa’y, 1396 H.
Apabila diekspresikan dalam bahasa
epistemologi kontemporer, pesan ini berarti bahwa ilmu haruslah dicari dari
sumber-sumber yang otoritatif yaitu mereka yang memiliki pandangan hidup Islam
dan terpancarkan dari prinsip-prinsip ajaran agama Islam itu sendiri. Maka
dapat kita simpulkan bahwa filsafat ilmu itu mencakup arti mengetahui, obyek
pengetahuan, sumber ilmu pengetahuan, dan proses mengetahui yang dalam Islam
memiliki ciri khas tersendiri dan karenanya secara substantif sangat berbeda
dengan filsafat ilmu dalam peradaban-peradaban lain.
Prinsip-prinsip (usul) dan dasar-dasar
(mabadi’) filsafat Ilmu dalam Islam telah dirumuskan oleh para ulama Islam
terdahulu (salaf) dan golongan Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah berasaskan kitab suci
al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW sehingga tidak empirisistik hanya
mengandalkan persepsi inderawi dan bukan pula rasionalistik mendewakan
kemampuan akal belaka, akan tetapi dikuatkan oleh wahyu otentik yang berasal
dari Allah swt, Sang Pemilik ilmu.*
0 komentar:
Posting Komentar