MAKALAH KELOMPOK 11
DISUSUN OLEH
ADRI
HERMAWAN
IMAM
ARIF
DOSEN PEMBIMBING : SITI HALIMAH. M.Pd
MATA KULIAH :
FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
JURUSAN : BIMBINGAN KONSELING ISLAM 2
FAKULTAS :
ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
IAIN
– SU MEDAN
2014
ESENSI
PERSERTA DIDIK
DALAM
FALSAFAH PENDIDIKAN ISLAM
Islam
berpandangan bahwa hakikat manusia ialah perkaitan antara badan dan ruh. Badan
dan ruh masing-masing merupakan substansi yang berdiri sendiri, yang tidak
tergantung adanya oleh yang lain. Islam secara tegas mengatakan bahwa kedia
substansi (unsure asal sesuatu yang ada) dua-duanya adalah substansi alam,
sedangkan alam adalah makhluk. Maka keduanya adalah yang diciptakan oleh Allah
SWT.[1]
Manusia
diciptakan Allah dalam struktur yang paling baik diantara makhluk Allah yang
lain. Struktur manusia terdiri atas unsure jasmaniah (fisiologis) dan rohaniah
(psikologis). Pada struktur jasmaniah dan rohaniah itu, Allah memberikan
seperangkat kemampuan dasar yang memiliki kecenderungan berkembang yang mana
pada perspektif psikologi disebut potensialitas atau disposisi, dan menurut
aliran psikologi behaviorisme disebut Prepotence reflexes (kemampuan
dasar yang secara otomatis dapat berkembang).[2]
Anak
didik adalah makhluk yang sedang berada dalam proses perkembangan dan
pertumbuhan menurut fitrahnya masing-masing. Mereka memerlukan bimbingan dan
pengarahan yang konsisten menuju kearah titik optimal kemampuan fitrahnya.
Pengertian tersebut berbeda apabila anak didi sudah bukan lagi anak-anak, maka
usaha untuk menumbuhkembangkannya sesuai kebutuhan peserta didik, tentu saja hal
ini tidak bisa diperlakukan sebagaimana perlakuan pendidik kepada peserta didik
(anak didik) yang masih anak-anak. Maka dalam hal ini dibutuhkan pendidik yang
benar-benar dewasa dalam sikap maupun kemampuannya.[3]
Dengan
demikian peserta didik adalah orang yang memerlukan pengetahuan, ilmu,
bimbingan dan oengarahan. Islam berpandangan bahwa hakikat ilmu berasal dari
Allah, sedangkan proses memperolehnya dilakukan melalui belajar kepada guru.
Karena ilmu itu berasal dari Allah, maka membawa konsekuensi perlunya seorang
peserta didik mendekatkan diri kepada Allah atau memnghiasi menghiasi diri
dengan akhlak yang disukai Allah, dan sedapat mungkin menjauhi perbuatan yang
tidak disukai Allah.[4]
A.
Pengertian Peserta Didik
Dalam paradigm pendidikan Islam, peserta didik merupakan orang yang
belum dewasa dan memiliki sejumlah potensi (kemampuan) dasar yang masih perlu
dikembangkan. Disini, peserta didik
merupakan makhluk Allah yang memiliki fitrah jasmani maupun rohani yang belum
mencapai taraf kematangan baik bentuk, ukuran, maupun perimbangan pada
bagian-bagian lainnya.dari segi ruhaniah, ia memiliki bakat, memiliki kehendak,
perasaan, dan pikiran yang dinamis dan perlu dikembangkan.
Berikut ini adalah pengertian peserta didik dari sudut pandang
Pendidikan Islam, yaitu :
a.
Muta’allim
Muta’allim
adalah orang yang sedang diajar atau orang yang sedang belajar. Muta’allim erat
kaitannya dengan mua’allim karena mua’allim adalah orang yang mengajar,
sedangkan muta’allim adalah orang yang diajar.
b.
Mutarabbi
Mutarabbi
adalah orang yang dididik dan orang yang diasuh dan orang yang dipelihara.
c.
Muta’addib
Muta’addib adalah orang yang diberi tata cara sopan santun atau
orang yang dididik untuk menjadi orang baik dan berbudi.[5]
Dalam bahasa
Indonesia ada tiga sebutan untuk pelajar, yaitu murid, anak didik dan peserta
didik. Istilah murid dalam Islam mengandung arti orang yang sedang belajar,
menyucikan diri dan sedang berjalan menuju Tuhan. Sebutan anak didik mengandung
arti guru menyayangi murid seperti anaknya sendiri, faktor kasih sayang guru
terhadap anak didik adalah satu kunci keberhasilan pendidikan, sedangkan
sebutan peserta didik adalah sebutan yang paling mutakhir, istilah ini
menekankan pentingnya murid berpartisipasi dalam proses pembelajaran. Dengan
demikian perubahan istilah dari murid ke anak didik kemudian menjadi peserta
didik, bermaksud memberikan perubahan pada peran pelajar dalam proses
pembelajaran.[6]
Pada banyak
buku pendidikan Islam, kajian tentang objek / peserta pendidikan secara umum
menekankan pada persoalan yang berkaitan dengan anak sebagai peserta didik,
artinya kebanyakan penulis menjelaskan bahwa peserta didik adalah setiap orang
yang menerima pengaruh dari seseorang atau sekelompok orang yang menjalankan kegiatan pendidikan,
peserta didik bukan binatang, tetapi ia adalah manusia yang mempunya akal.[7]
Sementara itu
Abu Ahmadi menjelaskan bahwa peserta didik disebut juga anak didik atau
terdidik yang terdiri dari para individu dan membaginya berdasarkan tahap
perkembangan dan umur, menurut status dan tingkat kemampuan.[8]
Dalam Islam
peserta didik adalah setiap manusia yang sepanjang hayatnya selalu berada dalam
perkembangan, jadi bukan hanya anak – anak yang sedang dalam pengasuhan dalam
pengasihan orang tuanya, bukan pula hanya anak – anak dalam usia sekolah[9], tetapi
mencakup seluruh manusia yang beragama Islam maupun tidak atau dengan kata lain
manusia secara keseluruhan.[10]
Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam QS. Saba’ Ayat 28
!$tBur y7»oYù=yör& wÎ) Zp©ù!$2 Ĩ$¨Y=Ïj9 #Zϱo0 #\ÉtRur £`Å3»s9ur usYò2r& Ĩ$¨Z9$# w cqßJn=ôèt ÇËÑÈ
Artinya :
“Dan kami tidak
mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita
gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada
mengetahui”.
Peserta didik adalah manusia yang memiliki potensi (fithrah) yang
dapat dikembangkan dan berkembang secara dinamis. Di sini tugas pendidik adalah
membantu mengembangkan dan mengarahkan perkembangan tersebut sesuai dengan
tujuan pendidikan yang diinginkan, tanpa melepaskan tugas kemanusiaannya; baik
secara vertikal maupun horizontal. Ibarat sebidah sawah, peserta didik adalah
orang yang berhak bercocok tanam dan memanfaatkan sawahnya (potensi). Sementara
pendidik (termasuk orang tua) hanya bertugas menyirami dan mengontrol tanaman
agar tumbuh subur sebagaimana mestinya, sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku.[11]
Menurut Pemakalah peserta didik adalah manusia
yang menjadi mitra dari kegiatan pendidikan. Pemahaman tentang peserta didik
seperti ini, di dasarkan pada tujuan pendidikan Islam yaitu mewujudkan manusia
sempurna serta utuh (insan kamil), yang untuk mencapainya manusia harus
berusaha terus menerus melalui berbagai kegiatan pendidikan hingga akhir
hayatnya, baik itu melalui pendidikan yang diselenggarakan secara formal maupun
non formal. Seluruh pendekatan peserta didik
sebelumnya perlu dipahami secara mendalam oleh setiap pendidik atau komponen
yang terlibat dalam proses kependidikan Islam. Wacana ini dimaksudkan untuk
memformat tugas-tugas kependidikan yang dinamis bagi tercapainya tujuan yang
diinginkan.
B.
Sifat Peserta Didik
Dalam tinjauan Psikologi disebutkan bahwa setiap individu memiliki
sifat bawaan (heredity) dan sifat yang
diperoleh dari pengaruh lingkungan. Sifat bawaan merupakan sifat yang dimiliki
sejak lahir, baik yang menyangkut faktor biologis maupun faktor sosial
psikologis. Pada masa lalu ada keyakinan, kepribadian terbawa pembawaan dan
lingkungan, merupakan dua faktor yang terbentuk karena faktor terpisah,
masing-masing memperngaruhi kepribadian dan kemampuan individu bawaan dan
lingkungan dengan caranya sendiri-sendiri.[12]
Untuk terwujudnya kegiatan
pembelajaran yang baik, serta terjalin kerjasama antara guru sebagai pendidik
dan murid sebagai peserta didik sekaligus sebagai mitra didik, setiap peserta
didik dituntut mengerti, memahami, memiliki dan dapat merealisasikan sifat –
sifat berikut ini :
1.
Bersikap tawadhu’ atau rendah hati[13]. Hendaklah pelajar tidak takabur
atas ilmu dan tidak menguasai orang yang mengajar, melainkan menyerahkan kepada
pengajar kendali urusannya secara keseluruhan dalam setiap perincian. Juga
pelajar harus menurut nasehat pengajar dan seyogyanya pelajar merendahkan diri
kepada pengajarnya, mencari pahala dan kemuliaan dengan melayaninya[14]
2.
Peserta didik hendaknya berhias dengan moral yang baik
seperti berkata benar, ikhlas, taqwa, rendah hati, zuhud menerima apa yang
ditentukan Tuhan serta menjauhi sifat – sifat tercela.
3.
Bersungguh – sungguh dan tekun belajar
4.
Sifat saling mencintai dan persaudaraan haruslah menyinari
pergaulan antara siswa sehingga merupakan anak – anak yang sebapak[15]
5.
Peserta didik harus penuh semangat dan kegiatan, serta
menghadapi tugasnya dengan penuh kegaerahan dan minat.
7.
Bersifat wara’ dan menjaga agar setiap kebutuhan dan
keluarga, makan, minum, pakaian tempat tinggal dan lain-lain, selalu dari bahan
dan diperoleh lewat cara yang halal[17]
Berkenaan dengan sifat, Imam Al-Ghazali merumuskan sifat-sifat yang
patut dan harus dimiliki peserta didik :
a.
Belajar
dengan niat ibadah dalam rangka taqarrub ila Allah
b.
Mengurangi
kecenderungan pada kehidupan duniawi dibanding ukhrawi sebaliknya
c.
Menjadi
pikiran dari berbagai pertentangan yang timbul dari berbagai aliran
d.
Mempelajari
ilmu-ilmu yang perpuji baik ilmu umum maupun agama
e.
Memprioritaskan
ilmu diniyah sebelum memasuki ilmu duniawi[18]
C.
Tugas dan Tanggung Jawab Peserta Didik
Agar pelaksanaan proses Pendidikan Islam dapat mencapai tujuan yang
diinginkan, maka setiap peserta didik hendaknya senantiasa menyadari tugas dan
kewajibannya.
Peserta didik adalah salah satu komponen manusiawi yang menempati posisi
sentral dalam proses belajar mengajar. Dalam proses belajar mengajar, peserta
didik adalah pihak yang ingin meraih cita-cita dan memiliki tujuan dan kemudian
ingin mencapainya secara optimal. Jadi, dalam proses belajar-mengajar yang
perlu diperhatikan pertama kali adalah perserta didik, bagaimana keadaan dan
kemampuannya, baru setelah itu menentukan komponen-komponen yang lain.
Menurut Imam al-Ghazali peserta didik memiliki sepuluh poin
kewaiban:
a.
Peserta
didik memprioritaskan penyucian diri dari akhlak tercela dan sifat buruk, sebab
ilmu itu bentuk peribadatan hati, shalat ruhani dan pendekatan batin kepada
Allah.
b.
Peserta
didik menjaga diri dari kesibukan-kesibukan duniawi dan segoyiyanya berkelanan
jauh dari tempat tinggalnya
c.
Peserta
didik tidak membusungkan dada terhadap orang alim (guru), melainkan bersedia patuh
dalam segala urusan dan bersedia mendengarkan nasihatnya
d.
Peserta
didik hendaknya menghindarkan diri dari mengkaji variasi pemikiran dan tokoh,
baik menyangkut ilmu-ilmu duniawi maupun ilmu-ilmu ukhrawi
e.
Peserta
didik tidak mengabaikan suatu disiplin ilmu apapun yang terpuji, melainkan
bersedia mempelajarinya hingga tahu akan orientasi dari disiplinilmu tersebut
f.
Peserta
didik dalam usahanya mendalami suatu
disiplin ilmu tidak dilakukan secara sekaligus, akan tetapi perlu bertahap dan
memprioritaskan yang terpenting
g.
Peserta
didik tidak melangkah mendalami tahap ilmu berikutnya hingga ia benar-benar
menguasai tahap ilmu sebelumnya
h.
Peserta
didik hendaknya mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan dapat memperoleh ilmu
yang paling mulia
i.
Tujuan
peserta didik dalam menuntut ilmu adalah pembersihan batin dan menghiasinya
dengan keutamaan serta pendekatan diri kepada Allah serta meningkatkan maqam
spiritualnya
j.
Peserta
didik mengetahui relasi ilmu-ilmu yang dikajinya dengan orientasi yang dituju,
sehingga dapat memilah dan memilih ilmu mana yang harus diprioritaskan.[19]
Menurut M. Athiyah al-Abrasyi,
setiap peserta didik setidaknya memiliki
tugas dan tanggung jawab seperti berikut ini :
1.
Sebelum mulai belajar, siswa itu harus terlebih dahulu
membersihkan hatinya dari segala sifat buruk, karena belajar dan mengajar itu
dianggap sebagai ibadah. Sebab menyemarakkan hati dengan ilmu tidak sah keuali
setelah hati itu suci dari kotoran akhlak. Intinya ialah peserta didik jiwanya
harus suci. Indikatornya terlihat dari akhlaknya[20]
2.
Bersedia mencari ilmu termasuk meninggalkan keluarga dan
tanah air, dengan tidak ragu – ragu bepergian ke tempat – tempat yang jauh
sekalipun bila di kehendaki demi untuk mendatangi guru.
3.
Bertekhad untuk belajar hingga akhir umur, jangan meremehkan
suatu cabang ilmu, tetapi hendaklah menganggapnya bahwa setiap ilmu ada faedahnya, jangan meniru – niru apa yang
didengarnya dari orang – orang yang terdahulu yang mengkritik dan merendahkan sebagian ilmu mantic dan
filsafat[21]
4.
Menjaga pikiran dari berbagai pertentangan yang timbul dari
berbagai aliran.
5.
Mempelajari ilmu – ilmu terpuji, baik ilmu umum atau ilmu
agama.
6.
Mempelajari suatu ilmu sampai tuntas untuk kemudian beralih
pada ilmu yang lainnya.
7.
Memahami nilai – nilai ilmiah atas ilmu pengetahuan yang
dipelajari
8.
Mengenal nilai – nilai prakmatis bagi suatu ilmu
pengetahuan, yaitu ilmu pengetahuan yang dapat bermanfaat, membahagiakan,
mensejahterakan, serta memberi keselamatan hidup dunia dan akhirat, baik itu
untuk dirinya maupun manusia pada umumnya[22]
D.
Etika Peserta Didik
Sebagaimana dijelaskan oleh Asmah
Hasan Fahmi, bahwa setiap peserta didik harus memiliki dan berlaku dengan etika
yang sesuai dengan ajaran Islam, seperti sebagai berikut :
1.
Setiap peserta didik harus membersihkan hatinya dari kotoran
sebelum menuntut ilmu
2.
Hendaklah tujuan belajar itu ditujukan untuk menghiasi ruh
dengan sifat keutamaan, mendekatkan diri dengan tuhan dan bukan untuk bermegah
– megahan dan mencari kedudukan[23]. Belajar dengan niat ibadah kepada Allah. Konsekuensi dari
sikap ini, peserta didik akan senantiasa mensucikan diri dengan akhlakul
karimah dalam kehidupan sehari – hari, serta berupaya meninggalkan watak dan
akhlah yang rendah sebagai manifestasi dari firman Allah SWT dalam QS.
Al-An’aam : 162:
ö@è%
¨bÎ) ’ÎAŸx|¹ ’Å5Ý¡èSur
y“$u‹øtxCur
†ÎA$yJtBur
¬! Éb>u‘ tûüÏHs>»yèø9$# ÇÊÏËÈ
Artinya :
“Katakanlah: Sesungguhnya
sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta
alam.”
dan QS.
Adz-Dzariyat ayat 56
$tBur àMø)n=yz
£`Ågø:$#
}§RM}$#ur žwÎ)
Èbr߉ç7÷èu‹Ï9 ÇÎÏÈ
Artinya :
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan
manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.”
3.
Peserta didik tidak menganggap rendah sedikitpun
pengetahuan-pengetahuan apa saja dengan sebab ia tidak mengetahuinya, tetapi ia
harus mengambil bagian dari tiap – tiap ilmu yang pantas baginya dan tingkatan
yang wajib baginya
4.
Janganlah peserta didik mengikuti teman – temannya yang
bodoh dalam mengecam sebagian ilmu, tanpa mengetahui apa yang patut dicela dan
dipuji tentangnnya[24]
6.
Apabila peserta didik telah memilih guru yang tepat, maka ia
harus belajar dengan sabar dan konsekuwen[26]
7.
Ikutilah perintahnya selama tidak menyuruh kemaksiatan
9. Hendaknya memilih teman yang berhati
mulia
10.
Menjahui teman yang bersifat malas
dan jangan membangga – banggakan suatu kemuliaan yang dimilikinya[28]
PENUTUP
Peserta didik merupakan unsur
terpenting bagi terlaksanya kegiatan pendidikan. Sebab ia merupakan obyek dan
sekaligus subyek dan mitra pendidikan, sehingga sehebat dan selengkap apapun
unsur – unsur lainnya, jika peserta didik tidak ada atau tidak dipedulikan,
maka dapat dipastikan kegiatan pendidikan tidak dapat terlaksana dan berjalan
dengan baik.
Diantara sifat – sifat yang harus dimiliki bagi peserta
didik adalah bersikap tawadhu’ atau rendah
hati, berhias dengan moral dan akhlaq yang baik, bersungguh – sungguh dan tekun
belajar, saling mempererat tali persaudaraan, memiliki sifat tabah, dan wira’.
Tugas dan tanggung jawab peserta
didik diantaranya sebelum belajar hendaknya membersihkan hati dari sifat
tercela, bersedia mencari ilmu walaupun meninggalkan keluarga, tempat jauh,
bertekhad mencari ilmu sepanjang hayat, menjaga pikiran dari pertentangan
aliran, mempelajari ilmu terpuji dan mendalam,
Peserta didik dalam mencari ilmu
harus memiliki etika yang baik diantaranya niat karena Allah, sopan – santun
pada guru, ber akhlaq yang baik terhadap guru maupun temannya
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi Abu. Ilmu Pendidikan. 1991. Rineka Cipta. Jakarta
Al-Ghozali Imam. Ihya’
Ulumuddin (terjemahan Misbah Zainul Mustofa). Bintang Pelajar. Yogyakarta
Al-Rasyidin & Nizar Samsul. Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis Filsafat Pendidikan Islam.
2005.Ciputat Press. Jakarta
Arifin. Ilmu Pendidikan Islam (Tinjauan Teoritis dan Praktis
Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner). 2003. Bumi Aksara. Jakarta
Asari Hasan. Etika Akademis
Dalam Islam Studi tentang Kitab Tazkirat al-Sami wa al-Mutakallim Karya Ibn
Jama’ah. 2008. Tiara Wacana. Yogyakarta
Bahri Syaiful Djamarah. Guru dan Anak Didik dalam Interaksi
Edukatif. 2000. Rineka Cipta. Jakarta
Hasan Asma Fahmi. Mabadiut Tarbiyatil Islamiyah (terjemahan
Ibrahim Husein) Sejarah dan Filsafat
Pendidikan Islam. 1979. Bulan Bintang. Jakarta
M. Al-Abrasyi Athiyah. Attarbiyah
al-Islamiyah (terjemahan Bustami A.Gani), Dasar – Dasar Pokok Pendidikan Islam. 1993. Bulan Bintang. Jakarta
Moh. Aziz Ali. Ilmu Dakwah. 2004. Kencana. Jakarta
Nizar Samsul. Filsafat Pendidikan Islam. (Pendekatan
Historis, Teoritis dan Praktis). 2002. Ciputat Pers. Jakarta
Noer Hery Aly. Ilmu Pendidikan Islam. 1999. Logos. Jakarta
Salminawati. Filsafat Pendidikan Islam (Membangun Konsep
Pendidikan Yang Islami). 2012. Citapustaka Media Perintis. Bandung
Sjalaby Ahmad. Tarikhut Tarbiyah Islamiyah, terjemahan
Mukhtar Yahya dan M. Sanusi Latief. 1973. Bulan Bintang. Jakarta
Sunarto dan Hartono Agung. Perkembangan Peserta Didik. 2008. Rineka
Cipta. Jakarta
Tafsir Ahmad. Filsafat Pendidikan Islami (Integrasi
Jasmani, Rohani dan Kalbu, Memanusiakan Manusia). 2006. Remadja Rosdyakarya.
Bandung
Zuhairini, dkk. Filsafat Pendidikan Islam. 1995. Bumi
Aksara. Jakarta
[1] Zuhairini,
dkk. Filsafat Pendidikan Islam. 1995. Bumi Aksara. Jakarta. Hlm. 75
[2] Arifin. Ilmu
Pendidikan Islam (Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan
Interdisipliner). 2003. Bumi Aksara. Jakarta. Hlm. 42
[3] Salminawati. Filsafat
Pendidikan Islam (Membangun Konsep Pendidikan Yang Islami). 2012.
Citapustaka Media Perintis. Bandung. Hlm. 138
[4] Salminawati. Op.
Cit. Hlm. 139
[5] Salminawati. Op.
Cit. Hlm. 140
[6] Ahmad Tafsir. Filsafat Pendidikan Islami (Integrasi
Jasmani, Rohani dan Kalbu, Memanusiakan Manusia). 2006. Remadja
Rosdyakarya. Bandung. Hlm.165
[7] Syaiful Bahri
Djamarah. Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif. 2000. Rineka
Cipta. Jakarta. Hlm. 51
[8] Abu Ahmadi. Ilmu
Pendidikan. 1991. Rineka Cipta. Jakarta. Hlm. 41-42
[9] Hery Noer Aly.
Ilmu Pendidikan Islam. 1999. Logos. Jakarta. Hlm. 113
[10] Moh. Ali Aziz.
Ilmu Dakwah. 2004. Kencana. Jakarta. Hlm. 90
[11] Samsul Nizar. Filsafat
Pendidikan Islam. (Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis). 2002.
Ciputat Pers. Jakarta. Hlm. 48-50
[12] Sunarto dan
Agung Hartono. Perkembangan Peserta Didik. 2008. Rineka Cipta. Jakarta.
Hlm. 4
[13]Al-Rasyidin & Samsul Nizar. Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis Filsafat Pendidikan Islam.
2005.Ciputat Press. Jakarta. Hlm. 52
[14]Imam Al-Ghozali. Ihya’
Ulumuddin (terjemahan Misbah Zainul Mustofa). Bintang Pelajar. Yogyakarta. Hlm.
161
[15]M. Athiyah al-Abrasyi. Attarbiyah
al-Islamiyah (terjemahan Bustami A.Gani), Dasar – Dasar Pokok Pendidikan Islam. 1993. Bulan Bintang. Jakarta.
Hlm. 147-148
[16]Asma Hasan Fahmi. Mabadiut Tarbiyatil Islamiyah (terjemahan
Ibrahim Husein) Sejarah dan Filsafat
Pendidikan Islam. 1979. Bulan Bintang. Jakarta. Hlm. 174
[17]Hasan Asari. Etika Akademis
Dalam Islam Studi tentang Kitab Tazkirat al-Sami wa al-Mutakallim Karya Ibn
Jama’ah. 2008. Tiara Wacana. Yogyakarta. Hlm. 72
[18] Salminawati.
Op. Cit. Hlm. 141
[19] Salminawati
Op. Cit. Hlm. 141
[20]Ahmad Tafsir. Op. Cit.
Hlm. 166
[21]M. Athiyah al-Abrasyi. Op. Cit. Hlm. 147-148
[22]Al-Rasyidin & Samsul Nizar. Op. Cit. Hlm. 53
[23]Asma Hasan Fahmi. Op. Cit. Hlm. 176
[25]M.Athiyah al-Abrasyi. Op. Cit. Hlm. 148
[26]Ahmad Sjalaby. Tarikhut
Tarbiyah Islamiyah, terjemahan Mukhtar Yahya dan M. Sanusi Latief. 1973.
Bulan Bintang. Jakarta. Hlm. 312
[27]Hasan Asari. Op. Cit. Hlm.
104
[28]Ahmad Sjalaby. Op.Cit. Hlm. 315
0 komentar:
Posting Komentar