Selasa, 16 September 2014

Esensi Peserta didik dalam filsafat pendidikan islam




MAKALAH KELOMPOK 11
Esensi Peserta Didik 
Dalam Falsafat Pendidikan Islam
                                                                                     

 




DISUSUN OLEH
ADRI HERMAWAN
IMAM ARIF

 DOSEN PEMBIMBING  : SITI HALIMAH. M.Pd
 MATA KULIAH            : FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
 JURUSAN                     : BIMBINGAN KONSELING ISLAM 2
 FAKULTAS                   : ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

IAIN – SU MEDAN
2014

ESENSI PERSERTA DIDIK
DALAM FALSAFAH PENDIDIKAN ISLAM

Islam berpandangan bahwa hakikat manusia ialah perkaitan antara badan dan ruh. Badan dan ruh masing-masing merupakan substansi yang berdiri sendiri, yang tidak tergantung adanya oleh yang lain. Islam secara tegas mengatakan bahwa kedia substansi (unsure asal sesuatu yang ada) dua-duanya adalah substansi alam, sedangkan alam adalah makhluk. Maka keduanya adalah yang diciptakan oleh Allah SWT.[1]
Manusia diciptakan Allah dalam struktur yang paling baik diantara makhluk Allah yang lain. Struktur manusia terdiri atas unsure jasmaniah (fisiologis) dan rohaniah (psikologis). Pada struktur jasmaniah dan rohaniah itu, Allah memberikan seperangkat kemampuan dasar yang memiliki kecenderungan berkembang yang mana pada perspektif psikologi disebut potensialitas atau disposisi, dan menurut aliran psikologi behaviorisme disebut Prepotence reflexes (kemampuan dasar yang secara otomatis dapat berkembang).[2]
Anak didik adalah makhluk yang sedang berada dalam proses perkembangan dan pertumbuhan menurut fitrahnya masing-masing. Mereka memerlukan bimbingan dan pengarahan yang konsisten menuju kearah titik optimal kemampuan fitrahnya. Pengertian tersebut berbeda apabila anak didi sudah bukan lagi anak-anak, maka usaha untuk menumbuhkembangkannya sesuai kebutuhan peserta didik, tentu saja hal ini tidak bisa diperlakukan sebagaimana perlakuan pendidik kepada peserta didik (anak didik) yang masih anak-anak. Maka dalam hal ini dibutuhkan pendidik yang benar-benar dewasa dalam sikap maupun kemampuannya.[3]
Dengan demikian peserta didik adalah orang yang memerlukan pengetahuan, ilmu, bimbingan dan oengarahan. Islam berpandangan bahwa hakikat ilmu berasal dari Allah, sedangkan proses memperolehnya dilakukan melalui belajar kepada guru. Karena ilmu itu berasal dari Allah, maka membawa konsekuensi perlunya seorang peserta didik mendekatkan diri kepada Allah atau memnghiasi menghiasi diri dengan akhlak yang disukai Allah, dan sedapat mungkin menjauhi perbuatan yang tidak disukai Allah.[4]

A.    Pengertian Peserta Didik
Dalam paradigm pendidikan Islam, peserta didik merupakan orang yang belum dewasa dan memiliki sejumlah potensi (kemampuan) dasar yang masih perlu dikembangkan.  Disini, peserta didik merupakan makhluk Allah yang memiliki fitrah jasmani maupun rohani yang belum mencapai taraf kematangan baik bentuk, ukuran, maupun perimbangan pada bagian-bagian lainnya.dari segi ruhaniah, ia memiliki bakat, memiliki kehendak, perasaan, dan pikiran yang dinamis dan perlu dikembangkan.
Berikut ini adalah pengertian peserta didik dari sudut pandang Pendidikan Islam, yaitu :
a.       Muta’allim 
Muta’allim adalah orang yang sedang diajar atau orang yang sedang belajar. Muta’allim erat kaitannya dengan mua’allim karena mua’allim adalah orang yang mengajar, sedangkan muta’allim adalah orang yang diajar.
b.      Mutarabbi
Mutarabbi adalah orang yang dididik dan orang yang diasuh dan orang yang dipelihara.
c.       Muta’addib
Muta’addib adalah orang yang diberi tata cara sopan santun atau orang yang dididik untuk menjadi orang baik dan berbudi.[5]
Dalam bahasa Indonesia ada tiga sebutan untuk pelajar, yaitu murid, anak didik dan peserta didik. Istilah murid dalam Islam mengandung arti orang yang sedang belajar, menyucikan diri dan sedang berjalan menuju Tuhan. Sebutan anak didik mengandung arti guru menyayangi murid seperti anaknya sendiri, faktor kasih sayang guru terhadap anak didik adalah satu kunci keberhasilan pendidikan, sedangkan sebutan peserta didik adalah sebutan yang paling mutakhir, istilah ini menekankan pentingnya murid berpartisipasi dalam proses pembelajaran. Dengan demikian perubahan istilah dari murid ke anak didik kemudian menjadi peserta didik, bermaksud memberikan perubahan pada peran pelajar dalam proses pembelajaran.[6]
Pada banyak buku pendidikan Islam, kajian tentang objek / peserta pendidikan secara umum menekankan pada persoalan yang berkaitan dengan anak sebagai peserta didik, artinya kebanyakan penulis menjelaskan bahwa peserta didik adalah setiap orang yang menerima pengaruh dari seseorang atau sekelompok  orang yang menjalankan kegiatan pendidikan, peserta didik bukan binatang, tetapi ia adalah manusia yang mempunya akal.[7]
Sementara itu Abu Ahmadi menjelaskan bahwa peserta didik disebut juga anak didik atau terdidik yang terdiri dari para individu dan membaginya berdasarkan tahap perkembangan dan umur, menurut status dan tingkat kemampuan.[8]
Dalam Islam peserta didik adalah setiap manusia yang sepanjang hayatnya selalu berada dalam perkembangan, jadi bukan hanya anak – anak yang sedang dalam pengasuhan dalam pengasihan orang tuanya, bukan pula hanya anak – anak dalam usia sekolah[9], tetapi mencakup seluruh manusia yang beragama Islam maupun tidak atau dengan kata lain manusia secara keseluruhan.[10] Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam QS. Saba’ Ayat 28
!$tBur y7»oYù=yör& žwÎ) Zp©ù!$Ÿ2 Ĩ$¨Y=Ïj9 #ZŽÏ±o0 #\ƒÉtRur £`Å3»s9ur uŽsYò2r& Ĩ$¨Z9$# Ÿw šcqßJn=ôètƒ ÇËÑÈ  


Artinya :
“Dan kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui”.  
Peserta didik adalah manusia yang memiliki potensi (fithrah) yang dapat dikembangkan dan berkembang secara dinamis. Di sini tugas pendidik adalah membantu mengembangkan dan mengarahkan perkembangan tersebut sesuai dengan tujuan pendidikan yang diinginkan, tanpa melepaskan tugas kemanusiaannya; baik secara vertikal maupun horizontal. Ibarat sebidah sawah, peserta didik adalah orang yang berhak bercocok tanam dan memanfaatkan sawahnya (potensi). Sementara pendidik (termasuk orang tua) hanya bertugas menyirami dan mengontrol tanaman agar tumbuh subur sebagaimana mestinya, sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku.[11]
Menurut Pemakalah peserta didik adalah manusia yang menjadi mitra dari kegiatan pendidikan. Pemahaman tentang peserta didik seperti ini, di dasarkan pada tujuan pendidikan Islam yaitu mewujudkan manusia sempurna serta utuh (insan kamil), yang untuk mencapainya manusia harus berusaha terus menerus melalui berbagai kegiatan pendidikan hingga akhir hayatnya, baik itu melalui pendidikan yang diselenggarakan secara formal maupun non formal. Seluruh pendekatan peserta didik sebelumnya perlu dipahami secara mendalam oleh setiap pendidik atau komponen yang terlibat dalam proses kependidikan Islam. Wacana ini dimaksudkan untuk memformat tugas-tugas kependidikan yang dinamis bagi tercapainya tujuan yang diinginkan.

B.     Sifat Peserta Didik
Dalam tinjauan Psikologi disebutkan bahwa setiap individu memiliki sifat  bawaan (heredity) dan sifat yang diperoleh dari pengaruh lingkungan. Sifat bawaan merupakan sifat yang dimiliki sejak lahir, baik yang menyangkut faktor biologis maupun faktor sosial psikologis. Pada masa lalu ada keyakinan, kepribadian terbawa pembawaan dan lingkungan, merupakan dua faktor yang terbentuk karena faktor terpisah, masing-masing memperngaruhi kepribadian dan kemampuan individu bawaan dan lingkungan dengan caranya sendiri-sendiri.[12]
Untuk terwujudnya kegiatan pembelajaran yang baik, serta terjalin kerjasama antara guru sebagai pendidik dan murid sebagai peserta didik sekaligus sebagai mitra didik, setiap peserta didik dituntut mengerti, memahami, memiliki dan dapat merealisasikan sifat – sifat berikut ini :
1.      Bersikap tawadhu’ atau rendah hati[13]. Hendaklah pelajar tidak takabur atas ilmu dan tidak menguasai orang yang mengajar, melainkan menyerahkan kepada pengajar kendali urusannya secara keseluruhan dalam setiap perincian. Juga pelajar harus menurut nasehat pengajar dan seyogyanya pelajar merendahkan diri kepada pengajarnya, mencari pahala dan kemuliaan dengan melayaninya[14]
2.      Peserta didik hendaknya berhias dengan moral yang baik seperti berkata benar, ikhlas, taqwa, rendah hati, zuhud menerima apa yang ditentukan Tuhan serta menjauhi sifat – sifat tercela.
3.      Bersungguh – sungguh dan tekun belajar
4.      Sifat saling mencintai dan persaudaraan haruslah menyinari pergaulan antara siswa sehingga merupakan anak – anak yang sebapak[15]
5.      Peserta didik harus penuh semangat dan kegiatan, serta menghadapi tugasnya dengan penuh kegaerahan dan minat.
6.      Senantiasa memiliki ketabahan dalam mencari ilmu pengetahuan[16]
7.      Bersifat wara’ dan menjaga agar setiap kebutuhan dan keluarga, makan, minum, pakaian tempat tinggal dan lain-lain, selalu dari bahan dan diperoleh lewat cara yang halal[17]
Berkenaan dengan sifat, Imam Al-Ghazali merumuskan sifat-sifat yang patut dan harus dimiliki peserta didik :
a.       Belajar dengan niat ibadah dalam rangka taqarrub ila Allah
b.      Mengurangi kecenderungan pada kehidupan duniawi dibanding ukhrawi sebaliknya
c.       Menjadi pikiran dari berbagai pertentangan yang timbul dari berbagai aliran
d.      Mempelajari ilmu-ilmu yang perpuji baik ilmu umum maupun agama
e.       Memprioritaskan ilmu diniyah sebelum memasuki ilmu duniawi[18]

C.    Tugas dan Tanggung Jawab Peserta Didik
Agar pelaksanaan proses Pendidikan Islam dapat mencapai tujuan yang diinginkan, maka setiap peserta didik hendaknya senantiasa menyadari tugas dan kewajibannya.
Peserta didik adalah salah satu komponen manusiawi yang menempati posisi sentral dalam proses belajar mengajar. Dalam proses belajar mengajar, peserta didik adalah pihak yang ingin meraih cita-cita dan memiliki tujuan dan kemudian ingin mencapainya secara optimal. Jadi, dalam proses belajar-mengajar yang perlu diperhatikan pertama kali adalah perserta didik, bagaimana keadaan dan kemampuannya, baru setelah itu menentukan komponen-komponen yang lain.
Menurut Imam al-Ghazali peserta didik memiliki sepuluh poin kewaiban:
a.       Peserta didik memprioritaskan penyucian diri dari akhlak tercela dan sifat buruk, sebab ilmu itu bentuk peribadatan hati, shalat ruhani dan pendekatan batin kepada Allah.
b.      Peserta didik menjaga diri dari kesibukan-kesibukan duniawi dan segoyiyanya berkelanan jauh dari tempat tinggalnya
c.       Peserta didik tidak membusungkan dada terhadap orang alim (guru), melainkan bersedia patuh dalam segala urusan dan bersedia mendengarkan nasihatnya
d.      Peserta didik hendaknya menghindarkan diri dari mengkaji variasi pemikiran dan tokoh, baik menyangkut ilmu-ilmu duniawi maupun ilmu-ilmu ukhrawi
e.       Peserta didik tidak mengabaikan suatu disiplin ilmu apapun yang terpuji, melainkan bersedia mempelajarinya hingga tahu akan orientasi dari disiplinilmu tersebut
f.       Peserta didik dalam  usahanya mendalami suatu disiplin ilmu tidak dilakukan secara sekaligus, akan tetapi perlu bertahap dan memprioritaskan yang terpenting
g.      Peserta didik tidak melangkah mendalami tahap ilmu berikutnya hingga ia benar-benar menguasai tahap ilmu sebelumnya
h.      Peserta didik hendaknya mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan dapat memperoleh ilmu yang paling mulia
i.        Tujuan peserta didik dalam menuntut ilmu adalah pembersihan batin dan menghiasinya dengan keutamaan serta pendekatan diri kepada Allah serta meningkatkan maqam spiritualnya
j.        Peserta didik mengetahui relasi ilmu-ilmu yang dikajinya dengan orientasi yang dituju, sehingga dapat memilah dan memilih ilmu mana yang harus diprioritaskan.[19]
Menurut M. Athiyah al-Abrasyi, setiap peserta didik  setidaknya memiliki tugas dan tanggung jawab seperti berikut ini :
1.      Sebelum mulai belajar, siswa itu harus terlebih dahulu membersihkan hatinya dari segala sifat buruk, karena belajar dan mengajar itu dianggap sebagai ibadah. Sebab menyemarakkan hati dengan ilmu tidak sah keuali setelah hati itu suci dari kotoran akhlak. Intinya ialah peserta didik jiwanya harus suci. Indikatornya terlihat dari akhlaknya[20]
2.      Bersedia mencari ilmu termasuk meninggalkan keluarga dan tanah air, dengan tidak ragu – ragu bepergian ke tempat – tempat yang jauh sekalipun bila di kehendaki demi untuk mendatangi guru.
3.      Bertekhad untuk belajar hingga akhir umur, jangan meremehkan suatu cabang ilmu, tetapi hendaklah menganggapnya bahwa setiap ilmu ada  faedahnya, jangan meniru – niru apa yang didengarnya dari orang – orang yang terdahulu yang mengkritik  dan merendahkan sebagian ilmu mantic dan filsafat[21]
4.      Menjaga pikiran dari berbagai pertentangan yang timbul dari berbagai aliran.
5.      Mempelajari ilmu – ilmu terpuji, baik ilmu umum atau ilmu agama.
6.      Mempelajari suatu ilmu sampai tuntas untuk kemudian beralih pada ilmu yang lainnya.
7.      Memahami nilai – nilai ilmiah atas ilmu pengetahuan yang dipelajari
8.      Mengenal nilai – nilai prakmatis bagi suatu ilmu pengetahuan, yaitu ilmu pengetahuan yang dapat bermanfaat, membahagiakan, mensejahterakan, serta memberi keselamatan hidup dunia dan akhirat, baik itu untuk dirinya maupun manusia pada umumnya[22]

D.    Etika Peserta Didik
Sebagaimana dijelaskan oleh Asmah Hasan Fahmi, bahwa setiap peserta didik harus memiliki dan berlaku dengan etika yang sesuai dengan ajaran Islam, seperti sebagai berikut :
1.          Setiap peserta didik harus membersihkan hatinya dari kotoran sebelum menuntut ilmu
2.          Hendaklah tujuan belajar itu ditujukan untuk menghiasi ruh dengan sifat keutamaan, mendekatkan diri dengan tuhan dan bukan untuk bermegah – megahan dan mencari kedudukan[23]. Belajar dengan niat ibadah kepada Allah. Konsekuensi dari sikap ini, peserta didik akan senantiasa mensucikan diri dengan akhlakul karimah dalam kehidupan sehari – hari, serta berupaya meninggalkan watak dan akhlah yang rendah sebagai manifestasi dari firman Allah SWT dalam QS. Al-An’aam : 162:
ö@è% ¨bÎ) ÎAŸx|¹ Å5Ý¡èSur y$uøtxCur ÎA$yJtBur ¬! Éb>u tûüÏHs>»yèø9$# ÇÊÏËÈ
Artinya :
“Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.”
 dan  QS. Adz-Dzariyat ayat 56
$tBur àMø)n=yz £`Ågø:$# }§RM}$#ur žwÎ) Èbrßç7÷èuÏ9 ÇÎÏÈ
Artinya :
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.”
3.          Peserta didik tidak menganggap rendah sedikitpun pengetahuan-pengetahuan apa saja dengan sebab ia tidak mengetahuinya, tetapi ia harus mengambil bagian dari tiap – tiap ilmu yang pantas baginya dan tingkatan yang wajib baginya
4.          Janganlah peserta didik mengikuti teman – temannya yang bodoh dalam mengecam sebagian ilmu, tanpa mengetahui apa yang patut dicela dan dipuji tentangnnya[24]
5.          Murid terlebih dahulu memberi salam kepada gurunya[25]
6.          Apabila peserta didik telah memilih guru yang tepat, maka ia harus belajar dengan sabar dan konsekuwen[26]
7.          Ikutilah perintahnya selama tidak menyuruh kemaksiatan
8.          Mengupayakan agar tiba terlebih dahulu di majlis dari guru[27]
9.      Hendaknya memilih teman yang berhati mulia
10.  Menjahui teman yang bersifat malas dan jangan membangga – banggakan suatu kemuliaan yang dimilikinya[28]

PENUTUP

Peserta didik merupakan unsur terpenting bagi terlaksanya kegiatan pendidikan. Sebab ia merupakan obyek dan sekaligus subyek dan mitra pendidikan, sehingga sehebat dan selengkap apapun unsur – unsur lainnya, jika peserta didik tidak ada atau tidak dipedulikan, maka dapat dipastikan kegiatan pendidikan tidak dapat terlaksana dan berjalan dengan baik.
 Diantara sifat – sifat yang harus dimiliki bagi peserta didik adalah  bersikap tawadhu’ atau rendah hati, berhias dengan moral dan akhlaq yang baik, bersungguh – sungguh dan tekun belajar, saling mempererat tali persaudaraan, memiliki sifat tabah, dan wira’.
Tugas dan tanggung jawab peserta didik diantaranya sebelum belajar hendaknya membersihkan hati dari sifat tercela, bersedia mencari ilmu walaupun meninggalkan keluarga, tempat jauh, bertekhad mencari ilmu sepanjang hayat, menjaga pikiran dari pertentangan aliran, mempelajari ilmu terpuji dan mendalam,
Peserta didik dalam mencari ilmu harus memiliki etika yang baik diantaranya niat karena Allah, sopan – santun pada guru, ber akhlaq yang baik terhadap guru maupun temannya

DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi Abu. Ilmu Pendidikan. 1991. Rineka Cipta. Jakarta
Al-Ghozali Imam. Ihya’ Ulumuddin (terjemahan Misbah Zainul Mustofa). Bintang Pelajar. Yogyakarta
Al-Rasyidin & Nizar Samsul. Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis Filsafat Pendidikan Islam. 2005.Ciputat Press. Jakarta
Arifin. Ilmu Pendidikan Islam (Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner). 2003. Bumi Aksara. Jakarta
Asari Hasan. Etika Akademis Dalam Islam Studi tentang Kitab Tazkirat al-Sami wa al-Mutakallim Karya Ibn Jama’ah. 2008. Tiara Wacana. Yogyakarta
Bahri Syaiful Djamarah. Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif. 2000. Rineka Cipta. Jakarta
Hasan Asma Fahmi. Mabadiut Tarbiyatil Islamiyah (terjemahan Ibrahim Husein) Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam. 1979. Bulan Bintang. Jakarta
M. Al-Abrasyi Athiyah. Attarbiyah al-Islamiyah (terjemahan Bustami A.Gani), Dasar – Dasar Pokok Pendidikan Islam. 1993. Bulan Bintang. Jakarta
Moh. Aziz Ali. Ilmu Dakwah. 2004. Kencana. Jakarta
Nizar Samsul. Filsafat Pendidikan Islam. (Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis). 2002. Ciputat Pers. Jakarta
Noer Hery Aly. Ilmu Pendidikan Islam. 1999. Logos. Jakarta
Salminawati. Filsafat Pendidikan Islam (Membangun Konsep Pendidikan Yang Islami). 2012. Citapustaka Media Perintis. Bandung
Sjalaby  Ahmad. Tarikhut Tarbiyah Islamiyah, terjemahan Mukhtar Yahya dan M. Sanusi Latief. 1973. Bulan Bintang. Jakarta
Sunarto dan Hartono Agung. Perkembangan Peserta Didik. 2008. Rineka Cipta. Jakarta
Tafsir  Ahmad. Filsafat Pendidikan Islami (Integrasi Jasmani, Rohani dan Kalbu, Memanusiakan Manusia). 2006. Remadja Rosdyakarya. Bandung
Zuhairini, dkk. Filsafat Pendidikan Islam. 1995. Bumi Aksara. Jakarta




[1] Zuhairini, dkk. Filsafat Pendidikan Islam. 1995. Bumi Aksara. Jakarta. Hlm. 75

[2] Arifin. Ilmu Pendidikan Islam (Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner). 2003. Bumi Aksara. Jakarta. Hlm. 42

[3] Salminawati. Filsafat Pendidikan Islam (Membangun Konsep Pendidikan Yang Islami). 2012. Citapustaka Media Perintis. Bandung. Hlm. 138

[4] Salminawati. Op. Cit. Hlm. 139

[5] Salminawati. Op. Cit. Hlm. 140

[6] Ahmad Tafsir. Filsafat Pendidikan Islami (Integrasi Jasmani, Rohani dan Kalbu, Memanusiakan Manusia). 2006. Remadja Rosdyakarya. Bandung. Hlm.165

[7] Syaiful Bahri Djamarah. Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif. 2000. Rineka Cipta. Jakarta. Hlm. 51

[8] Abu Ahmadi. Ilmu Pendidikan. 1991. Rineka Cipta. Jakarta. Hlm. 41-42

[9] Hery Noer Aly. Ilmu Pendidikan Islam. 1999. Logos. Jakarta. Hlm. 113

[10] Moh. Ali Aziz. Ilmu Dakwah. 2004. Kencana. Jakarta. Hlm. 90

[11] Samsul Nizar. Filsafat Pendidikan Islam. (Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis). 2002. Ciputat Pers. Jakarta. Hlm. 48-50

[12] Sunarto dan Agung Hartono. Perkembangan Peserta Didik. 2008. Rineka Cipta. Jakarta. Hlm. 4
[13]Al-Rasyidin & Samsul Nizar. Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis Filsafat Pendidikan Islam. 2005.Ciputat Press. Jakarta. Hlm. 52
[14]Imam Al-Ghozali. Ihya’ Ulumuddin (terjemahan Misbah Zainul Mustofa). Bintang Pelajar. Yogyakarta. Hlm. 161
[15]M. Athiyah al-Abrasyi. Attarbiyah al-Islamiyah (terjemahan Bustami A.Gani), Dasar – Dasar Pokok Pendidikan Islam. 1993. Bulan Bintang. Jakarta. Hlm. 147-148
[16]Asma Hasan Fahmi. Mabadiut Tarbiyatil Islamiyah (terjemahan Ibrahim Husein) Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam. 1979. Bulan Bintang. Jakarta. Hlm. 174
[17]Hasan Asari. Etika Akademis Dalam Islam Studi tentang Kitab Tazkirat al-Sami wa al-Mutakallim Karya Ibn Jama’ah. 2008. Tiara Wacana. Yogyakarta. Hlm. 72
[18] Salminawati. Op. Cit. Hlm. 141

[19] Salminawati Op. Cit. Hlm. 141

[20]Ahmad Tafsir. Op. Cit. Hlm. 166
[21]M. Athiyah al-Abrasyi. Op. Cit. Hlm. 147-148
[22]Al-Rasyidin & Samsul Nizar. Op. Cit. Hlm. 53
[23]Asma Hasan Fahmi. Op. Cit. Hlm. 176
[24]Ibid. Hlm. 176
[25]M.Athiyah al-Abrasyi. Op. Cit. Hlm. 148
[26]Ahmad Sjalaby. Tarikhut Tarbiyah Islamiyah, terjemahan Mukhtar Yahya dan M. Sanusi Latief. 1973. Bulan Bintang. Jakarta. Hlm. 312
[27]Hasan Asari. Op. Cit. Hlm. 104
[28]Ahmad Sjalaby. Op.Cit. Hlm. 315

0 komentar:

Posting Komentar

 
;