Kamis, 01 Mei 2014

Prasangka (Psikologi Sosial) A.Baron



PRASANGKA
 
A.    PENDAHULUAN
Prasangka merupakan sikap negative terhadap anggota dari kelompok sosial tertentu. Prasangka telah lama dikenal oleh masyarakat luas sebagai hal yang sangat penting dalam tingkah laku sosial dan dalam bermasyarakat. Prasangka timbul karena adanya perasaan tidak suka pada sesuatu hal tertentu ataupun timbul karena adanya keadaan yang sifatnya dapat mengganggu kita akan eksistensi yang kita miliki. Prasangka bisa saja muncul pada setiap orang kepada orang lain  ataupun pada beberapa kelompok kepada anggota kelompok tertentu.
Prasangka (prejudice) bisa menjadi salah satu aspek paling destruktif dari prilaku manusia, sering menimbulkan tindakan kekerasan yang mengerikan. Prasangka tidak hanya pada kelompok etnis dan rasial. Misalnya, gay dan lesbian juga kerap merasakan akibat dari prasangka oleh kelompok heteroseksual sehingga mereka harus menyembunyikan orientasi seksualnya untuk melindungi dirinya. Itulah gambaran awal dari sebuah prasangka yang dapat menimbulkan masalah atau juga dapat bermanfaat bagi kelompok tersendiri.
Kemudian dalam makalah ini akan membahas mengenai prasangka secara mendalam. Dimulai dari awal prasangka bisa muncul, dampak dari sebuah prasangka tersebut kemudian perbedaan pandangan dari prasangka itu juga bagaimana cara mengatasi prasangka tersebut  
B.     Prasangka Dan Diskriminasi: Sifat Dan Sumbernya
Dalam pembicaraan sehari-hari, istilah prasangka (prejudice) dan diskriminasi (discmination) sering kali digunakan bergantian. Namun, psikolog sosial membedakan keduanya secara  jelas, yaitu:
1.                Prasangka (Wujud dari Ketiadaan Toleransi)
Prasangka adalah sebuah sikap (biasanya negative) terhadap anggota kelompok tertentu, semata berdasarkan keanggotaan mereka dalam kelompok tersebut. Dengan kata  lain, seseorang yang memiliki prasangka terhadap kelompok sosial tertentu cenderung meng kerangevaluasi anggotanya dengan cara yang sama semata karena mereka anggota kelompok tersebut.
Ketika prasangka didefenisikan sebagai tipe khusus dari sikap, dua implikasi mengikutinya. Pertama, sikap sering kali berfungsi sebagai skema yaitu kerangka pikir kognitif untuk mengorganisasi, menginterpretasi, dan mengambil informasi. Kedua, sebagai sebuah sikap, prasangka juga melibatkan perasaan negative atau emosi pada orang yang dikenai prasangka ketika mereka hadir atau hanya memikirkan anggota kelompok yang tidak mereka sukai. Prasangka juga dapat dilakukan secara eksplisit-prasangka dapat dipicu secara otomatis dengan mendatangkan anggota kelompok yang akan ditujukan prasangka. Dan dapat mempengaruhi tingkah laku yang muncul bahkan ketika orang yang bersangkutan pada umumnya tidak menyadari eksistensi tersebut dan mungkin berusaha untuk menyangkalnya.
Mengapa secara khusus orang memiliki pandangan prasangka? Dan apa keuntungan yang mereka peroleh dengan memilikinya? Dari hasil penelitian tentang prasangka tersebut ada dua kesimbulan yang menyebabkan mengapa dan apa keuntungan dari prasangka tersebut, yaitu:
Pertama, secara individu, mereka memiliki prasangka karena dengan melakukannya mereka meningkatkan citra diri mereka sendiri. ketika individu yang berprasangka memandang rendah sebuah kelompok yang dipandangnya negative, hal ini membuat mereka yakin akan harga diri mereka sendiri yaitu untuk meresa superior dengan berbagai cara. Dengan kata lain, pada beberapa orang, prasangka dapat memainkan beberapa peran penting untuk melindungi atau meningkatkan konsep diri mereka.
Alasan kedua yaitu untuk memiliki pandangan prasangka adalah karena dengan melakukan hal tersebut kita dapat menghemat usaha kognitif. Stereotip, secara khusus, tampaknya melakukan fungsi ini. Ketika stereotip terbentuk, kita tidak perlu melakukan proses berpikir yang hati-hati dan sistematis, lagipula, karena kita “tahu” seperti apakah anggota kelompok ini, kita dapat melakukan proses berpikir yang lebih cepat berdasarkan dorongan proses heuristik dan semua keyakinan yang  telah dimiliki sebelumnya. Jadi, kecenderungan kita yang kuat untuk menghemat usaha mentaltampaknya menjadi satu alasan lain mengapa prasangka dibentuk dan tetap ada.
2.                Diskriminasi (Perwujudan Prasangka dalam Tingkah Laku)
Diskriminasi adalah tingkah laku negative yang ditujukan kepada anggota kelompok sosial yang menjadi objek prasangka. Misalnya aksi seperti membatasi tempat duduk bagi anggota kelompok-kelompok tertentu di bus atau di bioskop atau membatasi mereka di restoran umum.[1]
Menurut pemakalah, diskriminasi bisa terjadi dimana saja baik itu didalam keluarga, disekolah maupun di lingkungan sosial. Kita bisa mengambil sebuah contoh diskriminasi yang sering terjadi di lingkungan masyarakat yaitu, banyaknya gang atau kelompok-kelompok tertentu, seperti gang motor misalnya. Mereka menganggap bahwa mereka adalah yang paling hebat diantara geng-geng yang lain. Kemudian para geng motor ini juga memiliki prasangka terhadap geng motor yang lain dan pastinya dapat menimbulkan diskriminasi terhadap anggota geng yang lain bila daerah kekuasaannya diganngu.
Bentuk diskriminasi ada yang diekspresikan secara ekstrem seperti diatas kdan ada juga  dalam  bentuk diskriminasi halus atau samar, yaitu:
·         Rasisme Modern: Lebih Halus, Tetapi Sama Mematikan
Rasisme ini berusaha menutup-nutupi prasangka ditempat-tempat umum, tetapi mengekspresikan sikap-sikap mengecam ketika hal itu aman dilakukan, sebagai contoh, mereka berbagi pandangan tersebut kepada teman dekat dan anggota keluarga yang dikenal. Sebagai tambahan, hal ini melibatkan berbagai atribusi pandangan dogmatis pada sumber selain prasangka, walaupun mereka sebenarnya berakar dari sumber ini.          Sebagai contoh, seorang individu dapat menyatakan bahwa ia menentang perkawinan antarras karena anak-anak hasil perkawinan tersebut dapat mengalami banyak kesulitan. Nyatanya, pandangan-pandangan tersebut berakar dari prasangka dan keyakinan bahwa anggota dari kelompok ras atau etnid tertentu yang berbeda dari sudut pandang si pembicara lebih rendah dari berbagai hal.
·         Mengukur Sikap Rasial Implisit: Dari “The Bogus Pipeline” Sampai “The Bona Fide Pipeline”.
The Bogus Pipeline adalah satu teknik untuk mempelajari sikap rasial dan bentuk prasangka lain. Artinya dalam prosedur ini, kepada partisipan penelitian dikatakan dikatakan bahwa mereka akan dihubungkan pada alat khusus yang dapat mengakses opini mereka yang sebenarnya, apapun yang akan mereka katakana, dengan mengukur perubahan kecil pada otot-otot mereka (gelombang otak atau reaksi lain), untuk meyakinkan responden bahwa hal ini sungguh-sungguh, peneliti menanyakan pandangan mereka terhadap isu yang sudah diketahui (contoh, karena mereka telah mengekpresikannya beberapa minggu sebelumnya). Kemudian peneliti “membaca” mesin dan melaporkan pandangan ini pada partisipan yang sering kali cukup terkesan. Pada saat mereka yakin bahwa mesin, dengan cara tertentu mampu “melihat dalam diri mereka” maka tidak ada alasan untuk menutup-nutupi sikap mereka yang sesungguhnya. Kemudian diasumsikan bahwa respons mereka pada pertanyaan atau skala sikap mereka cukup jujur dan memberikan gambaran sikap mereka yang akurat, termasuk berbagai bentuk prasangka.
Bona Fide Pipeline adalah sebuah teknik yang menggunakan priming untuk mengukur sikap rasial implisit. Berbeda dengan The Bogus Pipeline, prosedur ini melibatkan beberapa tahap. Pertama, partisispan melihat berbagai kata sifat dan diminta untuk mengindikasikan apakah mereka memiliki arti “baik” atau “buruk” dengan menekankan salah satu dari dua tombol. Dalam tahap kedua, partisipan penelitian melihat foto orang yang termasuk dalam berbagai kelompok etnis atau rasial. Kemudian, tahap ketiga, sekali lagi mereka melihat foto dan diminta untuk mengindikasikan apakah mereka telah melihat atau belum pernah melihatsebelumnya tiap foto tersebut. setengah dari foto tersebut adalah foto yang pernah mereka lihat sementara setengahnya adalah foto yang yang belum pernah mereka lihat. Akhirnya dalam tahap keempat dan krusial tahp yang melibatkan priming, sekali lagi partisipan diminta untuk mengindikasikan apakah kata-kata sifat tersebut memiliki arti “baik” atau “buruk”. Namun, sebelum melihat setiap kata sifat tersebut, mereka secara cepat dihadapkan pada wajah orang-orang yang termasuk dalam berbagai kelompok rasial (kulit hitam, putih, Asia, Hispanik). Dasar pemikirannya, sikap rasial implisit akan tersingkap oleh seberapa cepat partisipan berespons pada kata-kata tersebut.
·         Tokenisme: Keuntungan Kecil, Biaya Tinggi
Tokenisme ini adalah cara lain dimana diskriminasi terjadi dalam dunia modern. Bayangkan anda dikontrak untuk sebuah pekerjaan yang sangat anda inginkan dan dengan bayaran awal yang lebih tinggi daripada yang anda harapkan. Pertama kali, anda merasa senang melihat keberuntungan anda. Sekarang bayangkan suatu saat anda mengetahui bahwa anda memperoleh keberuntungan anda hanya karena anda adalah anggota dari kelompok tertentu, kelompok dimana anggotanya harus dipekerjakan oleh perusahaan untuk menghindari tuduhan diskriminasi. Bagaimana reaksi anda? Dan bagaimana perasaan pegawai lain dalam perusahaan anda, yang mengetahui bahwa andadikontrak untuk alasan tersebut, akan memandang anda? Untuk pertanyaan pertama, hasil penelitian menunjukkan bahwa banyak orang menganggap bahwa situasi ini cukup mengganggu. Mereka kecewa saat menyadari bahwa mereka telah dipekerjakan atau dipromosikan hanya karena latar belakang etnis mereka, gender, atau aspek identitas pribadi mereka lainnya. Lebih jauh lagi, mereka mungkin keberatan dipekerjakan sebagai sebuah token anggota kelompok rasial, etnis, atau religious mereka.
C.    Sumber Prasangka: Perbedaan Pandangan
  1. Konflik Langsung Antarkelompok: Kompetisi Sebagai Sumber Prasangka
Ide motivasional kedua menyatakan bahwa prasangka berasal dari persaingan antar kelompok. Ide ini mengasumsikan bahwa masyarakat terdiri dari kelompok-kelompok yang berbeda-beda dalam hal kekuasaan, sumber daya ekonomi, status sosial, dan atribut lainnya. Kelompok dominan termotivasi untuk menjaga posisi dominannya, dan kelompok bawahan termotivasi untuk mereduksi kesenjangan ini. Persaingan ini menimbulkan konflik antar kelompok dan karenanya melahirkan prasangka.[2]
Teori Konflik Realistik (realistic counflict theory), menurut pandangan ini, prasangka berakar dari kompetisi antar-kelompok sosial, untuk memperoleh komoditas berharga atau kesempatan.. pendeknya prasangka berkembang dari perjuangan untuk memperoleh pekerjaan, perumahan yang layak, sekolah yang baik, dan hasil lain yang diinginkan. Teori tersebut lebih jauh lagi menyatakan bahwa kompetisi seperti itu terus berlanjut, anggota kelompok yang terlibat didalamnya mulai memandang satu sama lain dalam pandangan negative yang terus meningkat (White, 1977), mereka memberi label satu sama lain sebagai “musuh”, memandang kelompok mereka sendiri superior secara moral, dan menarik garis batas antara mereka dan lawan merekalebih tegas. Hasilnya, apa yang dimulai dengan kompetisi sederhana yang relative bebas dari rasa benci berkembang secara bertahap dalam skala penuh, prasangka dengan dasar emosi.
  1. Pengalaman Awal: Peran pembelajaran Sosial
Berdasarkan pandangan proses belajar sosial (social learning view), anak memperolah sikap negative melalui berbagai kelompok sosial karena mereka mendengar pandangan tersebut diekspresikan oleh orang tua, teman, guru, dan orang lain, dank arena mereka secara langsung diberikan rewards (brupa cinta, pujian, dan persetujuan) untuk mengadopsi pandangan-pandangan ini. Selain itu, dengan mengobservasi orang lain, norma sosial yang berupa peraturan dalam sebuah kelompok yang menyatakan tindakan atau sikap apa yang pantas dan juga penting. Orang pada umumnya memilih untuk mematuhi sebagian besar norma sosial dalam kelompok dimana mereka berada. Perkembangan dan ekspresi prasangka terhadap orang lain sering berakar dari kecendungan ini. “jika anggota kelompok saya tidak menyukai mereka,” anak-anak akan membangun alasan: “maka saya harus melakukannya juga!” (kita segera melihat, adanya bukti bahwa jika ada anggota kelompok menyukai orang yang berasal dari kelompok lainyang merupakan sasaran prasangka, maka hal ini terkadang dapat mengurangi reaksi negative yang muncul.
  1. Kategorisasi Sosial: Efek Kita-Versus-Mereka dan kesalahan Atribusi “Utama”
Pandangan ketiga terhadap sumber prasangka dimulai dari kenyataan dasar bahwa pada umumnya orang membagi dunia sosial dalam dua kategori yang berbeda, yaitu ‘kita’ dan ‘mereka’, hal ini untuk merujuk pada kategori sosial        (social categorization). Singkatnya, mereka memandang orang lain sebagai bagian dari kelompok mereka sendiri (in-group) atau kelompok lain (outgroup). Perbedaan tersebut didasarkan pada banyak dimensi, beberapa diantaranya adalah ras, agama, jenis kelamin, usia, latar belakang etnis, pekerjaan, dan pendapatan.
Adanya kecenderungan kuat untuk membagi dunia sosial kedalam “kita” dan “mereka” dan bagaimana hal ini mewarnai persepsi kita terhadap kelompok-kelompok, telah ditunjukkan dalam banyak penelitian (Stephan, 1985; Taffel, 1982; Harasty, 1997). Dalam teori identitas sosial (social identity theory), teori ini menyatakan bahwa individu berusaha meningkatkan self-eksteem dengn mengidentifikasikan diri dengn kelompok sosial tertentu.
  1. Sumber Kognitif Prasangka: Stereotip, Eksplisit, dan Implisit
  • Stereotip: Apa dan Bagaimana Stereotip Bekerja
Stereotip (stereotypes) adalah kerangka berpikir kognitif yang terdiri dari pengetahuan dan keyakinan tentang kelompok sosial tertentu dan traits tertentu yang mungkin dimiliki oleh orang yang menjadi anggota-anggota kelompok ini. Dengan kata lain, stereotip menyatakan bahwa setiap orang yang menjadi anggota kelompok sosial tertentu memiliki trait-trait tertentu, setidaknya pada derajat tertentu.
  • Stereotip Implisit: Ketika Keyakinan Yang Tidak Kita Sadari Mempengaruhi Tingkah laku Kita
  1. Mekanisme Kognitif Lain dalam Prasangka: Hubungan Palsu dan Homogenitas Out-group
D.    Prasangka Bukanlah Sesuatu Yang Tidak Terelakkan: Teknik untuk Mengatasi Dampaknya

E.     Prasangka Berdasarkan Gender: Sifat Dasar dan Dampaknya
Lebih dari setengah populasi dunia adalah perempuan. Namun walaupun faktanya demikian, banyak budaya masih memperlakukan wanita sebagai kelompok minoritas. Mereka tidak dilibatlkan dalam kegiatan ekonomi dan politik; mereka telah menjadi korban stereotip negatif yang kuat; dan mereka telah menghadapi diskriminasi yang jelas dalam berbagai aspek kehidupan-ditempat kerja, pendidikan yang lebih tinggi, dan pemerintahan (Fisher, 1992; Heilman, Block & Lucas, 1992).
  • Seksisme yang keras maupun yang halus: Dua Bentuk Prasangka Berdasarkan Gender
Istilah prasangka tampaknya mengimplikasikan kebencian-ketika kita mengatakannya, dalam pembicaraan sehari-hari bahwa seseorang berprasangka terhadap orang dalam kelompok tertentu, hal ini akan mengimplikasikan bahwa mereka memiliki pandangan sangat negatif terhadap kelompok tersebut. Hal yang serupa dengan seksisme, yang juga menunjukkan dua wajah yang berbeda. Salah satunya dikenal sebagai seksisme yang penuh dengan kebencian (hostile sexsim)- pandangan bahwa wanita, jika tidak inferior terhadap pria, memiliki trait negatif (contoh mereka ingin diistimewakan, terlalu sensitif, atau ingin merebut kekuasaan dari pria yang tidak sepantasnya mereka miliki. Pandangan lain, yang Glick dan koleganya deskripsikan sebagai seksisme bentuk halus (benevolent sexism)- pandanga yang menyatakan bahwa wanita pantas dilindungi,lebi superior daripada pria dalam banyak hal (contoh, mereka lebih murni, memiliki selera yang lebih baik). Dan sangat diperlukan untuk kebahagiaan pria (contoh, tidak ada pria yang benar-benar bahagia kecuali ia memiliki seoarang wanita yang ia puja dalam hidupnya). Menurut Glick dan koleganya (2000), kedua bentuk seksisme itu merefleksikan kenyataan bahwa pria telah lama memiliki posisi dominan dalam kebanyakan masyarakat manusia.
Lebih jauh, seeperti yang telah diduga, semakin tinggi kedua berntuk seksisme, semakin rendah kesetaraan gender (dalam hubungannya dengan kehadiran wanita  dengan status pekerjaan, pendidikan, dan standart hidup yang tingggi. Hal ini khususnya benar  untuk tingkat seksisme yang dimiliki oleh pria tetapi juga untuk wanita. Seperti yang di sampaikan oleh Glick dan koleganya (2000), seksisme halus pun adalah sebuah bentuk prasangka; hal tersebut juga dapat mempertahankan peran wanita sebagai bawahan.
  • Dasar Kognitif Seksisme: Stereotip Gender dan Penghargaan yang Berbeda
Stereotif Gender adalah keyakinan tentang karakteristik yang seharusnya yang dimiliki oleh wanita dan pria, dan membedakan kedua gender satu sama lain. Stereotif-stereotif ini dibagi dua gender dan berisi trait baik positif maupun negatif. Menariknya, stereotif gender terhadap wanita sebenarnya tampak lebih baik daripada stereotif terhadap pria, sebuah penelitian yang dideskripsikan oleh Egly dan Mladinic (1994) sebagai efek “wanita adalah keindahan”. Walaupun demikian wanita menghadapi masalah kunci: trai yang seharusnya mereka miliki, walaupun seringkali bersifat positif, namun dipandang tidak pantas jika status atau posisinya tinggi daripada trait yang dimiliki oleh pria. Hal ini menjadi hambatan penting bagi kemajuan yang dibuat oleh wanita (contoh, Heliman, 1995)
Ada beberapa perbedaan antara pria dan wanita dalam hubungannya dengan berbagai aspek tingkah laku, tetapi secara umum, besaran perbedaan tersebut lebih kecil daripada yang digambarkan oleh stereotif gender (contoh, Betancourt & Miller, 1996, Voyer, &Bryden, 1995). Stereotif Gender adalah bagian yang yang penting bagi keberadaan seksisme, namun bukanlah faktor satu-satunya. Jackson, Esses, dan Burris (2001) menyatakan bahwa variabel lain-yang tentunya berbeda-juga penting. Secara khusus, baik wanita dan pria mengekspresikan penghargaan yang lebih tinggi kepada pria.
Para peneliti memprediksikan bahwa laki-laki akan menerima peringkat yang lebih tinggi dalam hubungannya dengan rekomendasi pekerjaan dan penghargaan, dan secara umum, hal inilah yang terjadi (walaupun hasilnya berbeda dalam berbagai penelitian). Ringkasnya, meskipun stereotif gender berkontribusi pada keberadaan diskriminasi terhadap kaum wanita, namun hal itu bukanlah satu-satunya penyebab. Perbedaan penghargaan terhadap kedua gender, juga berkontribusi terhadap masalah yang terus berkembang.
  • Diskriminasi Terhadap Perempuan: halus tapi sering kali mematikan
Saat ini diskriminasi berdasarkan gender adalah sesuatu yang ilegal di berbagai negara. Hasilnya, bisnis , sekolah, dan organisasi sosial tidak lagi menolak pelamar pekerjaan atau tes masuk hanya karena mereka wanita (atau pria). Meskipun demikian, wanita terus menerun berada di posisi relatif yang tidak menguntungkan dalam masyarakat tertentu. Kebanyakan wanita berada pada pekerjaan dengan status dan bayaran yang rendah (Fisher, 1992) sekarang kita akan meninjau beberapa diantaranya.
·         PERAN HARAPAN.
Satu faktor yang menentukan pergerakan kaum perempuan melibatkan harapan mereka sendiri. Secara umum, wanita tampaknya memiliki harapan lebih rendah terhadap karir mereka daripada laki-laki. Mereka berharap menerima gaji awal dan gaji puncak yang lebih rendah (jackson, Gardner, & Sullivan, 1992; Major & Konar, 1984). Hasil penelitian (contoh, Jackson, Gardner, & Sullivan, 1992) mengindikasikan adanya beberapa faktor yang berperan.
Pertama, perempuan berharap memiliki waktu lebih luar pekerjaan. Hal ini cenderung menurunkan harapan mereka untuk mendapatkan gaji paling tinggi. Kedua, wanita menyadari bahwa pada umumnya perempuan memiliki gaji lebih kecil daripada laki-laki. Maka, harapan mereka yang lebih rendah hanya merefleksikan pemahaman mereka akan kenyataan saat ini dan dampaknya terhadap gaji mereka sendiri. Ketiga, seperti yang telah kita pelajari sebelumnya, wanita cenderung mengekspresikan tingkat bayaran yang lebih rendah sebagai sesuatu yang paling adil daripada laki-laki (Jackson, Gardner,  & Sullivan, 1992).
Akhirnya, dan mungkin hal yang paling penting, wanita cenderung membandingkan diri mereka sendiri dengan wanita lain, dan karena banyak contoh bahwa  wanita memperoleh gaji yang lebih kecil daripada pria, mereka menyimpulkan bahwa memilik gaji yang rendah tidaklah buruk (Major,1993).
·         PERAN KEYAKINAN DAN PERSEPSI DIRI.
Keyakinan yang sering kali disebut, adalah sebuah prediktor yang paling baik bagi kesuksesan. Orang yang berharaap sukses sering kali sukses; mereka yang berpikiran akan gagal menemukan bahwa duagaan tersebut menjadi kenyataan.
Alasan lain mengapa wanita kurang percaya diri dalam konteks tertentu adalah mereka belajar, melalui pengalaman pahit, bahwa taktik sukses pria seringkali menjadi bumerang bagi mereka. Tidaklah mengherankan, bahwa kemudian wanita mengekspresikan rasa percaya diri lebih rendah dalam berbagai situasi:  mereka diberi reward cukup kuat untuk melakukan hal tersebut.

F.     Kesimpulan
G.    Daftar Pustaka


[1]. Robert  A. Baron, Donn Byrne, Psikologi Sosial, (Jakarta: Erlangga, …..), hlm. 215.
[2]. ……………., Psikologi Sosial, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), hlm. 221.  

0 komentar:

Posting Komentar

 
;