PRASANGKA
A. PENDAHULUAN
Prasangka
merupakan sikap negative terhadap anggota dari kelompok sosial tertentu. Prasangka
telah lama dikenal oleh masyarakat luas sebagai hal yang sangat penting dalam
tingkah laku sosial dan dalam bermasyarakat. Prasangka timbul karena adanya
perasaan tidak suka pada sesuatu hal tertentu ataupun timbul karena adanya
keadaan yang sifatnya dapat mengganggu kita akan eksistensi yang kita miliki.
Prasangka bisa saja muncul pada setiap orang kepada orang lain ataupun pada beberapa kelompok kepada anggota
kelompok tertentu.
Prasangka
(prejudice) bisa menjadi salah satu aspek paling destruktif dari prilaku
manusia, sering menimbulkan tindakan kekerasan yang mengerikan. Prasangka tidak
hanya pada kelompok etnis dan rasial. Misalnya, gay dan lesbian juga kerap
merasakan akibat dari prasangka oleh kelompok heteroseksual sehingga mereka
harus menyembunyikan orientasi seksualnya untuk melindungi dirinya. Itulah
gambaran awal dari sebuah prasangka yang dapat menimbulkan masalah atau juga
dapat bermanfaat bagi kelompok tersendiri.
Kemudian
dalam makalah ini akan membahas mengenai prasangka secara mendalam. Dimulai
dari awal prasangka bisa muncul, dampak dari sebuah prasangka tersebut kemudian
perbedaan pandangan dari prasangka itu juga bagaimana cara mengatasi prasangka
tersebut
B. Prasangka Dan Diskriminasi: Sifat Dan Sumbernya
Dalam
pembicaraan sehari-hari, istilah prasangka (prejudice) dan diskriminasi
(discmination) sering kali digunakan bergantian. Namun, psikolog sosial
membedakan keduanya secara jelas, yaitu:
1.
Prasangka
(Wujud dari Ketiadaan Toleransi)
Prasangka
adalah sebuah sikap (biasanya negative) terhadap anggota kelompok tertentu,
semata berdasarkan keanggotaan mereka dalam kelompok tersebut. Dengan kata lain, seseorang yang memiliki prasangka terhadap
kelompok sosial tertentu cenderung meng kerangevaluasi anggotanya dengan cara
yang sama semata karena mereka anggota kelompok tersebut.
Ketika
prasangka didefenisikan sebagai tipe khusus dari sikap, dua implikasi
mengikutinya. Pertama, sikap sering kali berfungsi sebagai skema yaitu kerangka
pikir kognitif untuk mengorganisasi, menginterpretasi, dan mengambil informasi.
Kedua, sebagai sebuah sikap, prasangka juga melibatkan perasaan negative atau
emosi pada orang yang dikenai prasangka ketika mereka hadir atau hanya
memikirkan anggota kelompok yang tidak mereka sukai. Prasangka juga dapat
dilakukan secara eksplisit-prasangka dapat dipicu secara otomatis dengan
mendatangkan anggota kelompok yang akan ditujukan prasangka. Dan dapat
mempengaruhi tingkah laku yang muncul bahkan ketika orang yang bersangkutan
pada umumnya tidak menyadari eksistensi tersebut dan mungkin berusaha untuk
menyangkalnya.
Mengapa
secara khusus orang memiliki pandangan prasangka? Dan apa keuntungan yang
mereka peroleh dengan memilikinya? Dari hasil penelitian tentang prasangka
tersebut ada dua kesimbulan yang menyebabkan mengapa dan apa keuntungan dari
prasangka tersebut, yaitu:
Pertama,
secara individu, mereka memiliki prasangka karena dengan melakukannya mereka
meningkatkan citra diri mereka sendiri. ketika individu yang berprasangka
memandang rendah sebuah kelompok yang dipandangnya negative, hal ini membuat
mereka yakin akan harga diri mereka sendiri yaitu untuk meresa superior dengan
berbagai cara. Dengan kata lain, pada beberapa orang, prasangka dapat memainkan
beberapa peran penting untuk melindungi atau meningkatkan konsep diri mereka.
Alasan
kedua yaitu untuk memiliki pandangan prasangka adalah karena dengan melakukan
hal tersebut kita dapat menghemat usaha kognitif. Stereotip, secara khusus,
tampaknya melakukan fungsi ini. Ketika stereotip terbentuk, kita tidak perlu
melakukan proses berpikir yang hati-hati dan sistematis, lagipula, karena kita
“tahu” seperti apakah anggota kelompok ini, kita dapat melakukan proses berpikir
yang lebih cepat berdasarkan dorongan proses heuristik dan semua keyakinan
yang telah dimiliki sebelumnya. Jadi,
kecenderungan kita yang kuat untuk menghemat usaha mentaltampaknya menjadi satu
alasan lain mengapa prasangka dibentuk dan tetap ada.
2.
Diskriminasi
(Perwujudan Prasangka dalam Tingkah Laku)
Diskriminasi
adalah tingkah laku negative yang ditujukan kepada anggota kelompok sosial yang
menjadi objek prasangka. Misalnya aksi seperti membatasi tempat duduk bagi
anggota kelompok-kelompok tertentu di bus atau di bioskop atau membatasi mereka
di restoran umum.[1]
Menurut
pemakalah, diskriminasi bisa terjadi dimana saja baik itu didalam keluarga,
disekolah maupun di lingkungan sosial. Kita bisa mengambil sebuah contoh
diskriminasi yang sering terjadi di lingkungan masyarakat yaitu, banyaknya gang
atau kelompok-kelompok tertentu, seperti gang motor misalnya. Mereka menganggap
bahwa mereka adalah yang paling hebat diantara geng-geng yang lain. Kemudian
para geng motor ini juga memiliki prasangka terhadap geng motor yang lain dan
pastinya dapat menimbulkan diskriminasi terhadap anggota geng yang lain bila daerah
kekuasaannya diganngu.
Bentuk
diskriminasi ada yang diekspresikan secara ekstrem seperti diatas kdan ada
juga dalam bentuk diskriminasi halus atau samar, yaitu:
·
Rasisme Modern:
Lebih Halus, Tetapi Sama Mematikan
Rasisme
ini berusaha menutup-nutupi prasangka ditempat-tempat umum, tetapi
mengekspresikan sikap-sikap mengecam ketika hal itu aman dilakukan, sebagai
contoh, mereka berbagi pandangan tersebut kepada teman dekat dan anggota
keluarga yang dikenal. Sebagai tambahan, hal ini melibatkan berbagai atribusi
pandangan dogmatis pada sumber selain prasangka, walaupun mereka sebenarnya
berakar dari sumber ini. Sebagai
contoh, seorang individu dapat menyatakan bahwa ia menentang perkawinan
antarras karena anak-anak hasil perkawinan tersebut dapat mengalami banyak
kesulitan. Nyatanya, pandangan-pandangan tersebut berakar dari prasangka dan
keyakinan bahwa anggota dari kelompok ras atau etnid tertentu yang berbeda dari
sudut pandang si pembicara lebih rendah dari berbagai hal.
·
Mengukur Sikap
Rasial Implisit: Dari “The Bogus Pipeline” Sampai “The Bona Fide Pipeline”.
The
Bogus Pipeline adalah satu teknik untuk mempelajari sikap rasial dan bentuk
prasangka lain. Artinya dalam prosedur ini, kepada partisipan penelitian
dikatakan dikatakan bahwa mereka akan dihubungkan pada alat khusus yang dapat
mengakses opini mereka yang sebenarnya, apapun yang akan mereka katakana,
dengan mengukur perubahan kecil pada otot-otot mereka (gelombang otak atau
reaksi lain), untuk meyakinkan responden bahwa hal ini sungguh-sungguh,
peneliti menanyakan pandangan mereka terhadap isu yang sudah diketahui (contoh,
karena mereka telah mengekpresikannya beberapa minggu sebelumnya). Kemudian peneliti
“membaca” mesin dan melaporkan pandangan ini pada partisipan yang sering kali
cukup terkesan. Pada saat mereka yakin bahwa mesin, dengan cara tertentu mampu
“melihat dalam diri mereka” maka tidak ada alasan untuk menutup-nutupi sikap
mereka yang sesungguhnya. Kemudian diasumsikan bahwa respons mereka pada
pertanyaan atau skala sikap mereka cukup jujur dan memberikan gambaran sikap
mereka yang akurat, termasuk berbagai bentuk prasangka.
Bona
Fide Pipeline adalah sebuah teknik yang menggunakan priming untuk mengukur
sikap rasial implisit. Berbeda dengan The Bogus Pipeline, prosedur ini
melibatkan beberapa tahap. Pertama, partisispan melihat berbagai kata sifat dan
diminta untuk mengindikasikan apakah mereka memiliki arti “baik” atau “buruk”
dengan menekankan salah satu dari dua tombol. Dalam tahap kedua, partisipan
penelitian melihat foto orang yang termasuk dalam berbagai kelompok etnis atau
rasial. Kemudian, tahap ketiga, sekali lagi mereka melihat foto dan diminta
untuk mengindikasikan apakah mereka telah melihat atau belum pernah melihatsebelumnya
tiap foto tersebut. setengah dari foto tersebut adalah foto yang pernah mereka
lihat sementara setengahnya adalah foto yang yang belum pernah mereka lihat.
Akhirnya dalam tahap keempat dan krusial tahp yang melibatkan priming, sekali
lagi partisipan diminta untuk mengindikasikan apakah kata-kata sifat tersebut
memiliki arti “baik” atau “buruk”. Namun, sebelum melihat setiap kata sifat
tersebut, mereka secara cepat dihadapkan pada wajah orang-orang yang termasuk
dalam berbagai kelompok rasial (kulit hitam, putih, Asia, Hispanik). Dasar
pemikirannya, sikap rasial implisit akan tersingkap oleh seberapa cepat
partisipan berespons pada kata-kata tersebut.
·
Tokenisme:
Keuntungan Kecil, Biaya Tinggi
Tokenisme
ini adalah cara lain dimana diskriminasi terjadi dalam dunia modern. Bayangkan
anda dikontrak untuk sebuah pekerjaan yang sangat anda inginkan dan dengan bayaran
awal yang lebih tinggi daripada yang anda harapkan. Pertama kali, anda merasa
senang melihat keberuntungan anda. Sekarang bayangkan suatu saat anda
mengetahui bahwa anda memperoleh keberuntungan anda hanya karena anda adalah
anggota dari kelompok tertentu, kelompok dimana anggotanya harus dipekerjakan
oleh perusahaan untuk menghindari tuduhan diskriminasi. Bagaimana reaksi anda?
Dan bagaimana perasaan pegawai lain dalam perusahaan anda, yang mengetahui
bahwa andadikontrak untuk alasan tersebut, akan memandang anda? Untuk
pertanyaan pertama, hasil penelitian menunjukkan bahwa banyak orang menganggap
bahwa situasi ini cukup mengganggu. Mereka kecewa saat menyadari bahwa mereka
telah dipekerjakan atau dipromosikan hanya karena latar belakang etnis mereka,
gender, atau aspek identitas pribadi mereka lainnya. Lebih jauh lagi, mereka
mungkin keberatan dipekerjakan sebagai sebuah token anggota kelompok rasial,
etnis, atau religious mereka.
C. Sumber Prasangka: Perbedaan Pandangan
- Konflik Langsung Antarkelompok: Kompetisi Sebagai Sumber Prasangka
Ide
motivasional kedua menyatakan bahwa prasangka berasal dari persaingan antar
kelompok. Ide ini mengasumsikan bahwa masyarakat terdiri dari kelompok-kelompok
yang berbeda-beda dalam hal kekuasaan, sumber daya ekonomi, status sosial, dan
atribut lainnya. Kelompok dominan termotivasi untuk menjaga posisi dominannya,
dan kelompok bawahan termotivasi untuk mereduksi kesenjangan ini. Persaingan
ini menimbulkan konflik antar kelompok dan karenanya melahirkan prasangka.[2]
Teori
Konflik Realistik (realistic counflict theory), menurut pandangan ini,
prasangka berakar dari kompetisi antar-kelompok sosial, untuk memperoleh
komoditas berharga atau kesempatan.. pendeknya prasangka berkembang dari
perjuangan untuk memperoleh pekerjaan, perumahan yang layak, sekolah yang baik,
dan hasil lain yang diinginkan. Teori tersebut lebih jauh lagi menyatakan bahwa
kompetisi seperti itu terus berlanjut, anggota kelompok yang terlibat
didalamnya mulai memandang satu sama lain dalam pandangan negative yang terus
meningkat (White, 1977), mereka memberi label satu sama lain sebagai “musuh”,
memandang kelompok mereka sendiri superior secara moral, dan menarik garis
batas antara mereka dan lawan merekalebih tegas. Hasilnya, apa yang dimulai
dengan kompetisi sederhana yang relative bebas dari rasa benci berkembang
secara bertahap dalam skala penuh, prasangka dengan dasar emosi.
- Pengalaman Awal: Peran pembelajaran Sosial
Berdasarkan
pandangan proses belajar sosial (social learning view), anak memperolah sikap
negative melalui berbagai kelompok sosial karena mereka mendengar pandangan
tersebut diekspresikan oleh orang tua, teman, guru, dan orang lain, dank arena
mereka secara langsung diberikan rewards (brupa cinta, pujian, dan persetujuan)
untuk mengadopsi pandangan-pandangan ini. Selain itu, dengan mengobservasi
orang lain, norma sosial yang berupa peraturan dalam sebuah kelompok yang
menyatakan tindakan atau sikap apa yang pantas dan juga penting. Orang pada
umumnya memilih untuk mematuhi sebagian besar norma sosial dalam kelompok
dimana mereka berada. Perkembangan dan ekspresi prasangka terhadap orang lain
sering berakar dari kecendungan ini. “jika anggota kelompok saya tidak menyukai
mereka,” anak-anak akan membangun alasan: “maka saya harus melakukannya juga!”
(kita segera melihat, adanya bukti bahwa jika ada anggota kelompok menyukai
orang yang berasal dari kelompok lainyang merupakan sasaran prasangka, maka hal
ini terkadang dapat mengurangi reaksi negative yang muncul.
- Kategorisasi Sosial: Efek Kita-Versus-Mereka dan kesalahan Atribusi “Utama”
Pandangan
ketiga terhadap sumber prasangka dimulai dari kenyataan dasar bahwa pada
umumnya orang membagi dunia sosial dalam dua kategori yang berbeda, yaitu
‘kita’ dan ‘mereka’, hal ini untuk merujuk pada kategori sosial (social categorization). Singkatnya,
mereka memandang orang lain sebagai bagian dari kelompok mereka sendiri
(in-group) atau kelompok lain (outgroup). Perbedaan tersebut didasarkan pada
banyak dimensi, beberapa diantaranya adalah ras, agama, jenis kelamin, usia,
latar belakang etnis, pekerjaan, dan pendapatan.
Adanya
kecenderungan kuat untuk membagi dunia sosial kedalam “kita” dan “mereka” dan
bagaimana hal ini mewarnai persepsi kita terhadap kelompok-kelompok, telah
ditunjukkan dalam banyak penelitian (Stephan, 1985; Taffel, 1982; Harasty,
1997). Dalam teori identitas sosial (social identity theory), teori ini
menyatakan bahwa individu berusaha meningkatkan self-eksteem dengn
mengidentifikasikan diri dengn kelompok sosial tertentu.
- Sumber Kognitif Prasangka: Stereotip, Eksplisit, dan Implisit
- Stereotip: Apa dan Bagaimana Stereotip Bekerja
Stereotip
(stereotypes) adalah kerangka berpikir kognitif yang terdiri dari pengetahuan
dan keyakinan tentang kelompok sosial tertentu dan traits tertentu yang mungkin
dimiliki oleh orang yang menjadi anggota-anggota kelompok ini. Dengan kata
lain, stereotip menyatakan bahwa setiap orang yang menjadi anggota kelompok
sosial tertentu memiliki trait-trait tertentu, setidaknya pada derajat
tertentu.
- Stereotip Implisit: Ketika Keyakinan Yang Tidak Kita Sadari Mempengaruhi Tingkah laku Kita
- Mekanisme Kognitif Lain dalam Prasangka: Hubungan Palsu dan Homogenitas Out-group
D. Prasangka Bukanlah Sesuatu Yang Tidak Terelakkan:
Teknik untuk Mengatasi Dampaknya
E. Prasangka Berdasarkan Gender: Sifat Dasar dan
Dampaknya
Lebih
dari setengah populasi dunia adalah perempuan. Namun walaupun faktanya
demikian, banyak budaya masih memperlakukan wanita sebagai kelompok minoritas.
Mereka tidak dilibatlkan dalam kegiatan ekonomi dan politik; mereka telah
menjadi korban stereotip negatif yang kuat; dan mereka telah menghadapi
diskriminasi yang jelas dalam berbagai aspek kehidupan-ditempat kerja,
pendidikan yang lebih tinggi, dan pemerintahan (Fisher, 1992; Heilman, Block
& Lucas, 1992).
- Seksisme yang keras maupun yang halus: Dua Bentuk Prasangka Berdasarkan Gender
Istilah
prasangka tampaknya mengimplikasikan kebencian-ketika kita mengatakannya, dalam
pembicaraan sehari-hari bahwa seseorang berprasangka terhadap orang dalam
kelompok tertentu, hal ini akan mengimplikasikan bahwa mereka memiliki
pandangan sangat negatif terhadap kelompok tersebut. Hal yang serupa dengan
seksisme, yang juga menunjukkan dua wajah yang berbeda. Salah satunya dikenal
sebagai seksisme yang penuh dengan
kebencian (hostile sexsim)-
pandangan bahwa wanita, jika tidak inferior terhadap pria, memiliki trait
negatif (contoh mereka ingin diistimewakan, terlalu sensitif, atau ingin
merebut kekuasaan dari pria yang tidak sepantasnya mereka miliki. Pandangan
lain, yang Glick dan koleganya deskripsikan sebagai seksisme bentuk halus (benevolent
sexism)- pandanga yang menyatakan bahwa wanita pantas dilindungi,lebi
superior daripada pria dalam banyak hal (contoh, mereka lebih murni, memiliki
selera yang lebih baik). Dan sangat diperlukan untuk kebahagiaan pria (contoh,
tidak ada pria yang benar-benar bahagia kecuali ia memiliki seoarang wanita
yang ia puja dalam hidupnya). Menurut Glick dan koleganya (2000), kedua bentuk
seksisme itu merefleksikan kenyataan bahwa pria telah lama memiliki posisi
dominan dalam kebanyakan masyarakat manusia.
Lebih
jauh, seeperti yang telah diduga, semakin tinggi kedua berntuk seksisme,
semakin rendah kesetaraan gender (dalam hubungannya dengan kehadiran
wanita dengan status pekerjaan,
pendidikan, dan standart hidup yang tingggi. Hal ini khususnya benar untuk tingkat seksisme yang dimiliki oleh
pria tetapi juga untuk wanita. Seperti yang di sampaikan oleh Glick dan
koleganya (2000), seksisme halus pun adalah sebuah bentuk prasangka; hal
tersebut juga dapat mempertahankan peran wanita sebagai bawahan.
- Dasar Kognitif Seksisme: Stereotip Gender dan Penghargaan yang Berbeda
Stereotif Gender adalah keyakinan
tentang karakteristik yang seharusnya yang dimiliki oleh wanita dan pria, dan
membedakan kedua gender satu sama lain. Stereotif-stereotif ini dibagi dua
gender dan berisi trait baik positif maupun negatif. Menariknya, stereotif
gender terhadap wanita sebenarnya tampak lebih baik daripada stereotif terhadap
pria, sebuah penelitian yang dideskripsikan oleh Egly dan Mladinic (1994)
sebagai efek “wanita adalah keindahan”. Walaupun demikian wanita menghadapi
masalah kunci: trai yang seharusnya mereka miliki, walaupun seringkali bersifat
positif, namun dipandang tidak pantas jika status atau posisinya tinggi
daripada trait yang dimiliki oleh pria. Hal ini menjadi hambatan penting bagi
kemajuan yang dibuat oleh wanita (contoh, Heliman, 1995)
Ada
beberapa perbedaan antara pria dan wanita dalam hubungannya dengan berbagai
aspek tingkah laku, tetapi secara umum, besaran perbedaan tersebut lebih kecil
daripada yang digambarkan oleh stereotif
gender (contoh, Betancourt & Miller, 1996, Voyer, &Bryden, 1995).
Stereotif Gender adalah bagian yang yang penting bagi keberadaan seksisme,
namun bukanlah faktor satu-satunya. Jackson, Esses, dan Burris (2001)
menyatakan bahwa variabel lain-yang tentunya berbeda-juga penting. Secara khusus,
baik wanita dan pria mengekspresikan penghargaan yang lebih tinggi kepada pria.
Para
peneliti memprediksikan bahwa laki-laki akan menerima peringkat yang lebih
tinggi dalam hubungannya dengan rekomendasi pekerjaan dan penghargaan, dan
secara umum, hal inilah yang terjadi (walaupun hasilnya berbeda dalam berbagai
penelitian). Ringkasnya, meskipun stereotif gender berkontribusi pada
keberadaan diskriminasi terhadap kaum wanita, namun hal itu bukanlah
satu-satunya penyebab. Perbedaan penghargaan terhadap kedua gender, juga
berkontribusi terhadap masalah yang terus berkembang.
- Diskriminasi Terhadap Perempuan: halus tapi sering kali mematikan
Saat
ini diskriminasi berdasarkan gender adalah sesuatu yang ilegal di berbagai
negara. Hasilnya, bisnis , sekolah, dan organisasi sosial tidak lagi menolak
pelamar pekerjaan atau tes masuk hanya karena mereka wanita (atau pria).
Meskipun demikian, wanita terus menerun berada di posisi relatif yang tidak
menguntungkan dalam masyarakat tertentu. Kebanyakan wanita berada pada
pekerjaan dengan status dan bayaran yang rendah (Fisher, 1992) sekarang kita
akan meninjau beberapa diantaranya.
·
PERAN HARAPAN.
Satu
faktor yang menentukan pergerakan kaum perempuan melibatkan harapan mereka
sendiri. Secara umum, wanita tampaknya memiliki harapan lebih rendah terhadap
karir mereka daripada laki-laki. Mereka berharap menerima gaji awal dan gaji
puncak yang lebih rendah (jackson, Gardner, & Sullivan, 1992; Major &
Konar, 1984). Hasil penelitian (contoh, Jackson, Gardner, & Sullivan, 1992)
mengindikasikan adanya beberapa faktor yang berperan.
Pertama,
perempuan berharap memiliki waktu lebih luar pekerjaan. Hal ini cenderung
menurunkan harapan mereka untuk mendapatkan gaji paling tinggi. Kedua, wanita menyadari bahwa pada
umumnya perempuan memiliki gaji lebih kecil daripada laki-laki. Maka, harapan
mereka yang lebih rendah hanya merefleksikan pemahaman mereka akan kenyataan
saat ini dan dampaknya terhadap gaji mereka sendiri. Ketiga, seperti yang telah kita pelajari sebelumnya, wanita cenderung
mengekspresikan tingkat bayaran yang lebih rendah sebagai sesuatu yang paling
adil daripada laki-laki (Jackson, Gardner,
& Sullivan, 1992).
Akhirnya,
dan mungkin hal yang paling penting, wanita cenderung membandingkan diri mereka
sendiri dengan wanita lain, dan karena banyak contoh bahwa wanita memperoleh gaji yang lebih kecil
daripada pria, mereka menyimpulkan bahwa memilik gaji yang rendah tidaklah
buruk (Major,1993).
·
PERAN KEYAKINAN
DAN PERSEPSI DIRI.
Keyakinan
yang sering kali disebut, adalah sebuah prediktor yang paling baik bagi
kesuksesan. Orang yang berharaap sukses sering kali sukses; mereka yang
berpikiran akan gagal menemukan bahwa duagaan tersebut menjadi kenyataan.
Alasan
lain mengapa wanita kurang percaya diri dalam konteks tertentu adalah mereka
belajar, melalui pengalaman pahit, bahwa taktik sukses pria seringkali menjadi
bumerang bagi mereka. Tidaklah mengherankan, bahwa kemudian wanita
mengekspresikan rasa percaya diri lebih rendah dalam berbagai situasi: mereka diberi reward cukup kuat untuk melakukan hal tersebut.
F. Kesimpulan
G. Daftar Pustaka
0 komentar:
Posting Komentar