MAKALAH KELOMPOK 7
DISUSUN OLEH
ADRI
HERMAWAN
M.
SOLIHIN SIREGAR
NURHAYATI
SIREGAR
FITRAH
ANDRIANI HARAHAP
SITI
ROHIMAH HASIBUAN
DOSEN PEMBIMBING : NURUSSAKINAH DAULAY, M.Psi
MATA KULIAH :
PSIKOLOGI PERKEMBANGAN II
JURUSAN : BIMBINGAN KONSELING ISLAM 2
FAKULTAS :
ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
IAIN
– SU MEDAN
2014
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ................................................................................................ i
BAB I PENDAHULUAN .................................................................... 1
A.
Pengertian
Perceraian.................................................................. 1
B.
Faktor-faktor
Yang Menjadi Penyebab Perceraian..................... 2
C.
Proses
Perceraian ........................................................................ 5
D.
Dampak
Perceraian...................................................................... 5
E.
Mencegah
Perceraian................................................................... 7
BAB II LAPORAN PENELITIAN.............................................................. 12
BAB III KESIMPULAN.............................................................................. 18
DAFTAR PUSTAKA 20
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam Hubungan rumah
tangga tentunya tidak selamanya berjalan baik, sesuai dengan apa yang telah
kita inginkan dari sebelumnya, namun ternyata ada beberapa faktor lain yang
secara sengaja atau tidak sengaja menghambat keharmonisan Hubungan keluarga
tersebut. Salah satu akibat yang ditimbulkan dengan adanya konflik tersebut
ialah perceraian, dimana perceraian bukan lagi hal yang asing di dunia
khususnya di Indonesia, perceraian bisa dikatakan hal yang lumrah dan sudah
memasyarakat. Perceraian kemudian melahirkan babak kehidupan baru seperti
terjadinya peran baru yang disebut Single Parent.
Perceraian tidak saja
terjadi pada orang-orang kelas bawah tetapi terjadi pada orang-orang berkelas
atas yang mempunyai perekonomian lebih dari cukup, bukan hanya rakyat biasa
tetapi perceraian pun bisa terjadi pada seorang public figure salah satunya
yang sering teradi pada kalangan artis, musisi, bahkan pada ustad-ustad.
Perceraian akan
merugikan beberapa pihak dan perceraian juga sudah jelas dibenci oleh agama
(terutama agama Islam). Namun pada kenyataannya walaupun dilarang tetapi
perceraian dikalangan masyarakat masih terus semakin banyak bahkan dari tahun
ketahun terus meningkat terutama dikalangan para artis, dimana mereka dengan
mudah kawin-cerai dengan tidak memperhitungkan akibat psikis yang ditimbulkan dari
perceraian tersebut.
Kita sebagai pelajar
mestinya tahu bahwa ada beberapa hal
yang mesti diperhatikan bahwa akibat dari perceraian itu sangat fatal
sekali, salah satunya terhadap perkembangan sibuah hati, dimana pada saat orang
tuanya bercerai ia akan terganggu dan merasa kurangnya perhatian bahkan kasih
saying dari orang tua, secara psikis perceraian pasti sangat mempengaruhi pada
perkembangan anak, baik itu ketika masih anak-anak bahkan ketika anak mulai menuju
remaja.
A.
Pengertian Perceraian
Perceraian menurut
Murdock, seharusnya dilihat sebagai sebuah proses seperti halnya perkawinan.
Aktivitas itu terjadi karena sejumlah aspek yang menyertainya seperti emosi,
ekonomi, sosial dan pengakuan secara resmi oleh masyarakat melalui hukum yang
berlaku[1]
Hurlock berpendapat
bahwa perceraian merupakan kulminasi dari penyesuaian perkawinan yang buruk,
dan terjadi bila antara suami dan istri sudah tidak mampu lagi mencari cara
penyelesaian masalah yang dapat memuaskan kedua belah pihak. [2]
Menurut Su’adah, perceraian
merupakan suatu proses yang didalamnya menyangkut banyak aspek seperti
emosi, ekonomi, sosial dan pengakuan secara resmi oleh masyarakat melalui hokum
yang berlaku.[3]
Dari
beberapa pengertian sebelumnya, pemakalah menarik kesimpulan bahwa wanita yang
bercerai adalah wanita yang mengalami suatu pembubaran pernikahan yang buruk
dengan suatu proses emosi, ekonomi, sosial karena suatu sebab tertentu, dan
mendapat pengakuan secara resmi oleh masyarakat dan melalui hokum yang berlaku.
B.
Faktor-faktor Yang Menjadi Penyebab Perceraian
Menurut
Dagun, memaparkan faktor-faktor penyebab perceraian, antara lain: persoalan ekonomi, perbedaan usia yang besar dan
persoalan prinsip hidup yang berbeda. Perbedaan penekanan dan cara mendidik
anak, juga pengaruh dukungan dari pihak luar (tetangga, sanak saudara, sahabat
dan situasi masyarakat yang terkondisi).[4]
Undang-undang perkawinan No. 1 tahun 1974, menjelaskan
bahwa penyebab perceraian terjadi, karena :
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan
sebagainya sekar disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama dua tahun berturut-turut
tanpa izin yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar
kemauannya.
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara lima tahun atau hukuman yang
lebih berat setelah perkawinan berlangsung
d. Salah satu pihak melakukankekejaman atau penganiyaan berat yang
membahayakan terhadap pihak yang lain.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit, dengan akibat tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri.
f. Antara suami dan istri terus menerus
terjadi perselisihan dan tidak ada harapan akan hidup rukun dalam rumah tangga[5]
Menurut Subiyanto, ada sepuluh hal yang dapat mengancam
keharmonisan keluarga, yaitu :
a.
Kekecewaan
Pada mulanya mereka berusaha menampilkan diri
sesempurna mungkin agar diterima oleh pasangannya, tapi dalam perjalanan waktu
mereka menunjukkan dirinya yang sebenarnya. Kekecewaan demi kekecewaan muncul
sehingga hidup berpasangan menjadi beban yang melelahkan.
b.
Pelarian
Ketika relasi hampar atau tegang, dan dikepung
oleh kekecewaan demi kekecewaan, sementara pasangan itu tidak menemukan jalan
keluarnya, reaksi yang sering muncul adalah menghindarinya mencari pelarian
c.
Kebosanan
Perjalanan hidup suami istri diwarnai
rutinitas dan monoton yang terkadang membosankan. Hidup menjadi mekanis dan
rutin tanpa warna, hampar rasa namun tetap harus dijalani.
d.
Dendam
Entah disengaja atau tidak, melukai atau
menyakiti pasangannya adalah kenyataan yang tidak terhindarkan. Tidak jarang
pasangan yang terluka terus menyimpan luka itu menajdi dendam dan berusaha
menunggu kesempatan untuk membalas melukai pasangannya.
e.
WIL atau PIL
Perselingkuhan yang ditandai dengan hadirnya
“orang ketiga” baik pria idaman lain (PIL) maupun wanita idaman lain (WIL), dalam kehidupan perkawinan akan sangat mengancam relasi
secara serius. Masuknya orang ketiga sering kalu tidak secara langsung,
melainkan melalui proses dimana terjadi gangguan relasi atau pelarian diri.
f.
Gender
Kita dibesarkan dalam suasana paternalistik
dimana pria dipandang lebih unggul dari pada wanita. Wanita dikodratkan untuk
urusan rumah tangga dan melayani pria, sebaliknya pria bekerja diluar rumah
sebagai kepala keluarga. Kondisi ini ikut membentuk cara pandanga dan
harapan-harapan kita terhadap pasangan.
g.
Single Parent
Trend baru yang menggejala dinegara maju, yakini
gaya hidup sebagai single parent, yaitu orang bisa tanpa pasangannya menjalani
pengasuhan anak secara sengaja. Gaya hidup semacam ini akan memacu pasangan
untuk berani menagmbil keputusan cerai karena mendapat pembenaran dan penguhan,
khususnya bagi pria atau wanita yang memiliki kemandirian tinggi dibidang
finansial, bahkan emosional.
h.
Karir
Kebebasan individual dewasa ini memberi
peluang bagi setiap orang untuk aktualisasi diri selebar-lebarnya. Ekonomi
pasar menjadikan karir bagi seseorang dengan imbalan tanpa batas. Orang bisa
tergoda mencurahkan seluruh hidupnya demi karir dengan mengorbankan relasi
sebagai orang berpasangan, atau meningkatkan prestasi tidak diimbangi dengan
kemampuan berkomunikasi sebagai istri dan suami.
i.
Keluarga
Konsep tentang keluarga sekarang ini mengalami
pergeseran dari extended family menuju nuclear family. Dahulu
keluarga dipahami sebagai “keluarga besar” yang meluputi bukan hanya ayah, ibu,
anak, melainkan sanak saudara yang lain seperti paman, bibi, nenek, kakek,
keponakan dan lain-lain. Sebaliknya masyarakat modern lebih mulai berfokus pada
“keluarga ini” yakni ayah, ibu, dan anak.
j.
Kawin campur
Konsekuensi dari masyarakat pluralis di bidang
agama dan hubungan antar pribadi yang semakin bebas dan terbuka tanpa
diskriminasi adalah perkawinan antar agama atau “kawin campur”. Sering terjadi
salah satu berusaha mengubah pasangan untuk mengikuti agamanya atau salah satu
mengingkari apa yang pernah dijanjikan pada saat pernikahan.
Berdasarkan uraian sebelumnya dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang
dapat menjadi penyebab perceraian adalah perselingkuhan atau perzinahan, salah
satu pihak melakukan kekerasan dalam rumah tangga, antara suami dan istri
terjadi perselisihan dan masalah ekonomi[6]
C.
Proses Perceraian
Scansoni
dan Scansoni, menggambarkan bahwa situasi dan kondisi menjelang perceraian bermula dari
“stagnasi/mandeknya” proses negosiasi antara pasangan
suami-istri. Masing-masing pihak mencoba mengajukan argumentasinya yang dianggap rasional untuk mencari
pembenaran sendiri karena dilandasi perasaan-perasaan:
·
Mencoba untuk mulai memaksakan kehendaknya sendiri;
·
Mencari-cari kesalahan pasangannya;
·
Lebih mengupayakan terjadinya konflik daripada mencari jalan
keluar untuk kepentingan bersama;
·
Mencoba untuk menunjukkan kekuasaannya.[7]
D.
Dampak Perceraian
Menurut
Karim, konsekuensi utama yang ditanggung oleh mantan pasangan suami-istri pasca perceraian
adalah masalah penyesuaian kembali terhadap
peranan masing-masing serta hubungan dengan lingkungan sosial (social relationship)[8].
Goode
mengamati proses penyesuaian kembali (readjustment) dalam hal perubahan peran
sebagai suami-istri dan memperoleh peran baru. Perubahan lain adalah perubahan
hubungan sosial ketika mereka bukan lagi sebagai pasangan suami-istri.
Penyesuaian kembali ini termasuk upaya mereka yang bercerai untuk menjadi
seseorang yang mempunyai hak dan kewajiban individu, jadi tidak lagi sebagai
mantan suami atau mantan istri.
Scanzoni
and Scanzoni mengatakan pasca perceraian seseorang tidak perlu bersedih dan
tidak perlu mengharapkan kembali mantan pasangannya. Alasannya adalah
perceraian itu sendiri menandakan adanya rasa benci dan tidak senang hidup
bersama lagi. Perceraian tidak harus ditangisi dan seseorang tidak perlu
membenamkan dirinya dalam kesedihan atau kedukaan secara berlebihan karena
kehilangan banyak yang pernah dimilikinya dan dirasakannya selama hidup bersama
pasangannya. Scanzoni dan Scanzoni kembali mendengarkan, mantan pasangan suami
istri seyogyanya menyadari bawah “kebersamaan” dan saling ketergantungan
diantara mereka telah berakhir.
Perceraian
tidak saja membawa dampak bagi pasangan suami-istri, tetapi juga terhadap
anak-anak yang lahir dari pasangan itu. Menurut Leslie, reaksi anak terhadap
perceraian dapat diukur atau dikenali berdasarkan kualitas perkawinan orang
tua,. Berdasarkan penelitian, separuh anak yang berasal dari keluarga tidak
bahagia menunjukkan reaksi bahwa perceraian adalah jalan/solusi terbaik untuk
keluarganya. Sebaliknya, anak-anak yang berasal dari keluarga yang bahagia
lebih dari separuhnya mengatakan kesedihan dan bingung menghadapi perceraian orang tua.[9]
Selain
trauma yang dihadapi anak-anak pasca perceraian, Landis, menemukan bahwa hampir
separuh dari anak-anak merasa “dimanfaatkan” oleh salah satu atau bahkan kedua
orang tua mereka. “Pemanfaatan” yang dimaksud adalah anak-anak dilibatkan dalam
konflik orang tua. Orang tua berusaha menarik simpati anak untuk mencari
informasi melalui anak tentang mantan pasangan, menceritakan hal-hal yang tidak
benar tentang mantan pasangan, serta melibatkan/memprovokasi anak-anak dalam
kondisi permusuhan.[10]
Sementara
itu, Lesley mengatakan dampak lain dari perceraian adalah meningkatnya
“perasaan dekat” sama dengan ibu serta menurunnya jarak emosional terhadap
ayah. Ini terjadi bila anak berada dalam asuhan dan perawatan ibu. Selain itu
anak-anak yang orang tuanya bercerai merasa malu dengan perceraian tersebut.
Mereka menjadi inferior terhadap anakanak lain. Oleh karena itu tidak jarang
mereka berbohong dengan mengatakan bahwa orang tua mereka tidak bercerai atau
bahkan menghindari pertanyaanpertanyaan tentang perceraian orang tua mereka.[11]
Berdasarkan pemafaran sebelumnya dapat
disimpukan bahwa perceraian terjadi karena ditimbulkan oleh berbagai macam hal
dan dengan adanya perceraian akan membawa permasalahan bagi pihak-pihak yang
mengalaminya, terutama bagi para wanita janda cerai yang merasakan dampak dari
perceraian. Perceraian juga berdampak pada perkembangan sang anak.
E.
Mencegah Perceraian
Ada
beberapa tips yang dapat kita pertimbangkan, saat rumah tangga kita berada
diambang perceraian. Berikut adalah beberapa diantaranya[12]:
1.
Cari Sumbernya
Ada asap pasti ada api. Demikian
juga halnya dengan kehidupan rumah tangga. Keputusan untuk bercerai tentunya
bukan tanpa sebab. Karena itu, carilah sumber dari hal ini. Jika sumber
permasalahannya sudah dapat ditemukan, cobalah untuk menyelesaikan dengan
baik-baik. Sebab setiap masalah tentu mempunyai jalan keluar. Apapun masalah
yang menjadi sumber dari keputusan cerai yang akan diambil, sebaiknya
pertimbangkan dengan matang. Sebab, jika kita sudah menemukan sumber
permasalahannya, maka keputusan yang tepat akan dapat diambil, apakah akan
meneruskan keputusan untuk bercerai, atau tidak.
2.
Introspeksi
Bila Anda sudah mengetahui
penyebab kenapa Anda atau suami ingin bercerai, cobalah untuk berintropeksi.
Ini yang seringkali sulit dilakukan. Pasalnya, masing-masing pasangan pasti
merasa dirinyalah yang benar. Mereka tak bakal bisa menerima kenyataan bahwa
merekalah pangkal sebab munculnya niat cerai. Mungkin, Anda malu mengakui
secara jujur kekurangan Anda, tapi cobalah menjawab dengan jujur pada diri
sendiri bahwa yang dikatakan pasangan Anda ada benarnya. Mumpung masih ada
waktu, kenapa tak Anda coba perbaiki dari sekarang? Tentu, suami pun harus
melakukan hal serupa. Bisa jadi, ialah yang membuat perkawinan menjadi goyah
dan tak harmonis lagi.
3.
Jangan membesarkan masalah
Jika Anda dan suami sudah tahu
sumber keributan dan konflik dalam rumahtangga, sebaiknya jangan memperbesar
masalah. Juga, jangan mencari masalah baru. Pasalnya, ini justru akan
memperkeruh suasana. Bila Anda menyadari kekurangan yang ada, tak ada salahnya
meminta maaf. Tidak perlu malu dan berusaha menjadi istri yang baik seperti
yang diharapkan suami. Cobalah untuk mencari solusi sebaik-baiknya.
4.
Pisah sementara
Meski sepertinya sangat tak enak,
cara ini bisa menjadi jalan terbaik untuk menghindari perceraian. Pisah untuk
sementara waktu akan membantu suami-istri untuk menenteramkan diri sekaligus
menilai, keputusan apa yang sebaiknya ditempuh. Kenapa harus pisah rumah?
Pasalnya, dua hati yang sama-sama sedang panas, sebaiknya tak bertemu setiap
hari. Jika setiap hari bertemu, yang terjadi bukan membaik, malah justru bakal
semakin panas. Bisa-bisa ribut terus dan tidak ada titik temu. Yang dibahas
setiap hari pasti akan balik ke masalah yang itu-itu saja. Anda bisa misalnya “mengungsi”
dulu ke rumah orang tua, sementara suami pindah dulu sementara ke rumah orang
tuanya. Pisah rumah akan membantu mendinginkan hati yang sedang memanas,
sehingga Anda dan suami dapat berpikir jernih.
5.
Komunikasi
Apapun, komunikasi merupakan
fondasi sebuah hubungan, termasuk hubungan dalam perkawinan. Tanpa komunikasi,
hubungan tak bakal bisa bertahan. Jadi, seberat apapun situasi yang tengah Anda
hadapi, sebaiknya tetap lakukan komunikasi dengan pasangan. Bahkan setelah Anda
dan suami sama-sama hidup terpisah, cobalah untuk tetap berkomunikasi. Coba
diskusikan bersama, langkah terbaik apa yang bisa Anda berdua lakukan untuk
menghindari perceraian, untuk mempertahankan mahligai rumahtangga. Tak mudah
memang, tapi jika Anda berdua sudah berpisah untuk sementara waktu, situasi
panas barangkali sudah lewat, sehingga Anda berdua sudah siap untuk
berkomunikasi. Jangan merasa malu atau gengsi untuk saling menghubungi.
6.
Libatkan keluarga
Jika kenyataannya, pasangan sudah
tidak dapat diajak berkomunikasi atau selalu berusaha menghindar, cobalah
libatkan anggota keluarga yang memang dekat dengannya. Orang tua, kakak atau
pamannya misalnya. Pokoknya, siapa saja yang Anda rasa bisa Anda ajak
berbicara. Tentu, Anda jangan pernah menutupi akar permasalahan yang ada kepada
mereka, tetapi berterus teranglah. Katakan juga, apa sebetulnya kekurangan Anda
maupun kekurangan suami. Siapa tahu, mediator ini dapat melunakkan hati Anda
dan pasangan, sekaligus mencarikan solusi untuk kembali bersatu.
7.
Cari teman curhat
Menghadapi perceraian tentu akan membuat pikiran runyam, pekerjaan
terbengkalai dan bingung harus berbuat apa. Nah, kondisi tidak nyaman ini bisa
Anda atasi bila Anda bisa berbagi dengan orang terdekat, sahabat misalnya.
Dengan berbagi, beban pikiran Anda akan terasa lebih ringan. Yang harus
dicermati, jangan mencari teman curhat yang lawan jenis. Carilah teman curhat
sesama jenis. Pasalnya, bila Anda bercerita, mengungkapkan uneg-uneg Anda pada
teman pria, belum tentu sepenuhnya ia akan mendukung Anda untuk kembali bersatu
dengan suami. Bisa jadi ia malah menggoda Anda, dan jika Anda akhirnya
benar-benar tergoda, yang muncul akhirnya malah masalah baru.
8.
Ingat anak
Anak biasanya menjadi senjata
terampuh untuk meredam konflik antara suami-istri. Jadi, bila ternyata antara
Anda dan suami sama¬sama menginginkan perceraian, cobalah ingat anak-anak Anda,
buah cinta kasih Anda dan suami. Ingatlah bahwa mereka masih sangat membutuhkan
Anda dan suami. Apakah mereka harus menjadi korban perceraian karena keegoisan
orang tuanya? Lantas, setelah Anda bercerai, kemana dan kepada siapa mereka
harus ikut, Anda atau suami? Jika Anda menyayangi mereka, pikirkan kembali
keputusan tersebut.
9.
Kesampingkan ego pribadi
Jika Anda memang masih
menginginkan keutuhan rumahtangga, segera buang jauh-jauh ego yang ada dalam
diri Anda. Jangan merasa diri selalu benar dan sealu menyudutkan pasangan,
begitu pula sebaiknya. Sadarilah bahwa apa yang terajadi sekarang adalah
kesalahan Anda dan suami. Kalaupun selama ini ada sakit hati yang terselip, cobalah
untuk saling memberi maaf.
10.
Jujur pada diri sendiri
Jujurlah pada diri sendiri,
apakah Anda sudah siap mental untuk berpisah selamanya dengan suami? Perceraian
tidaklah semudah yang dibayangkan. Berpisah lalu hidup tenang. Tidak selamanya
perceraian membuat kehidupan menjadi bahagia. Bisa jadi justru sebaliknya,
lebih hancur. Banyak masalah-masalah di kemudian hari yang berbuntut panjang.
Mulai anak, harta gono-gini sampai hubungan antar-keluarga yang ikut tidak
harmonis. Jadi, pikirkan kembali jika ingin mengambil keputusan ini. Selain
jujur, Anda juga harus mengedepankan rasio. Perempuan biasanya memang lebih
banyak menggunakan perasaan, namun untuk soal seberat ini jangan hanya
perasaan. Pertimbangkan benar, apa dampaknya bagi Anda dan keluarga jika perceraian
itu benar-benar terjadi.
11.
Banyak berdoa
Banyak berdoa dan mendekatkan
diri pada Yang Maha Kuasa dapat membantu permasalahan Anda. Mintalah petunjuk
dari-Nya. Dengan semakin bertekun dan mendekat kan diri, insya Allah doa Anda
akan terjawab.
12.
Buka lembaran baru
Jika Anda dan suami akhirnya bisa
kembali rukun, maka Anda harus siap membuka lembaran baru bersama suami. Jangan
pernah mengungkit-ungkit persoalan dan penyebab Anda berdua pernah berniat
untuk bercerai. Sekali Anda mengungkit-ungkit, bisa jadi Anda akhirnya akan
benar-benar bercerai. Yang paling penting adalah saling mengingatkan dan
memperbaiki kekurangan-kekurangan yang ada.
BAB II
LAPORAN PENELITIAN
Dalam melengkapi makalah, kami melakukan penelitian
terhadap seorang ibu yang telah lama bercerai dengan suaminya dan menjadi
single parent yang tinggal di Jl. Letdan Soejono Gg. Pisang, Medan. Penelitian kami
lakukan dengan tempo dua hari dengan observasi langsung terhadap Ibu X, pada
hari pertama kami hanya berbincang dan berkenalan untuk memastikan bahwa ibu
ini memang benar seorang single parent. Pada hari kedua kami mulai melakukan observasi
dengan wawancara langsung, berikut ini adalah simulasi percakapan antara kami
dengan ibu X:
Mahasiswa : Bagaimana keadaan ibu setelah bercerai
dengan suami ?
Ibu X : No problem, keadaan saya seperti ibu dari
seorang anak pada umumnya.
Mahasiswa :
Biasanya setahu kami seorang wanita
yang telah bercerai akan mengalami keadaan yang bisa dibilang depresi atau lain
sebagainya, mengapa ibu tidak seperti itu?
Ibu X :
Depresi sih pernah, tapi bukan karena
perceraian ini, namun karena memikirkan anak saya, dan itu semua sekarang sudah
menjadi hal yang biasa saya hadapi, karena perceraian ini saya yang
menginginkannya jadi wajar dong saya tidak terlalu terbawa kedalam kesedihan.
Mahasiswa :
Sebelumnya maaf ni bu, sudah berapa lama ibu
bercerai dengan suami ibu?
Ibu X :
Dengan suami yang mana nih dek?
Mahasiswa :
Maksud ibu?
Ibu X :
Sebenarnya Ibu sudah bercerai sampai
tiga kali!
Mahasiswa :
(terkejut sebentar) oh, gitu ya bu. Ya dengan
suami ketiga saja bu!
Ibu X :
Ibu sudah bercerai dengan suami selama 13
tahun seusia anak ibu sekarang.
Mahasiswa :
wah sudah lama juga ya bu. Maaf bu, apa
penyebab perceraian ibu dengan suami? kalau boleh tiga-tiganya.
Ibu X :
Dengan suami yang pertama itu dikarenakan tidak
ada pertanggung jawaban sebagai seorang suami. Ya bisa dibilang dalam pemenuhan
kebutuhan hidup ibu termasuk mencari sendiri. Jadi wajar dong saya merasa tidak
senang dan memutuskan untuk perceraian, dan pernikahan kami hanya bertahan 2
tahun
Mahasiswa :
Oh gitu, terus bu?
Ibu X :
Dengan suami yang kedua itu
dikarenakan tidak memiliki keturunan, suami saya bilang bahwa saya wanita yang
mandul, karena sudah menikah selama 13 tahun belum juga mendapatkan keturunan. Akhirnya
saya bertekat untuk membuktikan bahwa saya bukanlah wanita mandul, akhirnya
saya putuskan untuk bercerai lagi.
Mahasiswa :
Begitu ya bu! Bagaimana dengan suami ketiga
bu?
Ibu X :
Di pernikahan ketiga ini adalah
pembuktian bahwa saya bukan wanita mandul, walaupun Pernikahan dengan suami
ketiga hanya berjalan selama 6 bulan, ini dikarenakan perbedaan pandangan dan
pendidikan suami saya yang rendah. pada saat itu saya sedang mengandung selama
3 bulan, saya berpikir bahwa jika saya biarkan anak ini lahir dengan didikan
dari suami saya, maka saya yakin anak ini akan menjadi anak yang tidak jelas jalan hidupnya, dikarenakan suami saya
ini bukanlah orang yang berpendidikan dan awur-awuran. Saya menikah dengannya juga
dikarenakan mendadak untuk membuktikan saya bukan wanita mandul. Penyesalan pun
datang dan saya memutuskan untuk mengambil ancang-ancang perkembangan anak saya
kedepan dengan bercerai dengan suami saya.
Mahasiswa :
Kami mengerti dengan perasaan ibu, diawal perceraian
masa sulit apa yang menonjol dalam keseharian ibu?
Ibu X :
Tidak ada masa sulit yang terlalu berarti,
saya hidup dengan enjoy. Karena saya sudah terbiasa mandiri, dan perceraian
juga saya yang menginginkan.
Mahasiswa :
Hmmm...Untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari kegiatan apa yang ibu lakukan?
Ibu X :
Saya bedagang, dan alhamdulilah saya memiliki rumah
kos-kosan.
Mahasiswa :
Wahh, mantap itu bu. Sebelumnya, apakah ibu pernah mengalami depresi atau
sebagainya setelah perceraian ini?
Ibu X :
Sungguh tidak pernah, namun di
perceraian kedua saya sempat mengalami depresi, tapi bukan dikarenakan
perceraian, namun dikarenakan tidak mempunyai keturunan yang padahal saya ingin
merasakan bagaiamana hamil dan menggendong anak sendiri. Tapi itu semua sudah hilang
karena saya sudah memiliki keturunan.
Mahasiswa :
hmmm, gitu ya bu. Apakah sebelum bercerai ibu
pernah merasa khawatir terhadap perkembangan anak ibu berikutnya?
Ibu X :
Ya, saya khawatir. Maklumlah pada saat itu
anak saya masih dalam kandungan dan berusia 3 bulan, saya khawatir setelah dia
lahir terhadap pengaruh lingkungannya karena saya rasa dengan tidak adanya
suami saya maka akan berkurang pengawasan terhadapnya. Tapi saya akan lebih
khawatir lagi jika yang mendidik anak saya itu adalah suami saya, dikarenakan
yang saya bilang tadi.
Mahasiswa :
ohh, iya-iya bu. Berapa jumlah anak ibu?
Ibu X :
Anak saya satu, dia laki-laki.
Mahasiswa :
Bagaimana dengan hak pengasuhan anak ibu,
apakah anak tinggal dengan suami atau dengan ibu sendiri?
Ibu X :
Ya pastinya sama saya dong, kan disaat
perceraian anak saya masih dalam kandungan. Dan gak akan pernah saya berikan
kepada mantan suami saya.
Mahasiswa :
Kenapa begitu bu?
Ibu X :
Ya karena saya tau suami saya kayak
gimana, dan sampai sekarang pun mantan suami saya itu tidak pernah memberi
nafkah kepada kami, otomatis anak saya pun tidak mau ikut dengannya bahkan
tidak mau menganggapnya ayah, bukan saya yang mengajari loh, tapi memang
anaknya sendiri yang gak mau. Jumpa
dengan ayahnya saja hanya pada usia satu sampai dua tahun, setelah itu tidak
pernah lagi.
Mahasiswa :
Oh, begitu bu. Apa kendala ibu yang sering
muncul sebagai single parent atau mendidik anak ibu sendirian?
Ibu X :
Ya pastinya dari segi keuangan dong, tau
sendiri bagaimana penghasilan saya dengan bedagang. Untuk kehidupan anak yang
lebih layak lagi itu lah yang sedikit menjadi kendala. Tapi itu semua sudah saya
lupakan, karena buktinya saya bisa bertahan sampai sekarang sekitar 13 tahun, kendala
pasti ada tapi kami siap melewatinya.
Mahasiswa :
Hebat ya bu. Bagaimana respon anak ibu
terhadap perceraian ini?
Ibu X :
Anak saya tidak terlalu peduli, dan pada saat
perceraian dia tidak ada respon dong, kan masih dalam kandungan.
Mahasiswa :
Oh, ia juga bu. Apakah anak ibu pernah
mempertanyakan tentang perceraian ini?
Ibu X :
Tidak pernah, dia hanya sekedar tau saja,
karena dia tidak suka dengan ayahnya disebabkan tidak ada kasih sayang dari
ayahnya tersebut. Wajar dong anak-anak. Malah
dia menganggap salah seorang teman dekat saya yang menyayanginya sebagai
ayahnya, padahal itu hanya teman saya, namun karena sering jumpa dan kasih
sayang yang diberikan dan bahkan teman saya itu sendiri yang menyuruh anak saya
memanggilnya ayah.
Mahasiswa :
Oh, gitu. Bagaimana perkembangan belajar anak
ibu setelah perceraian ini?
Ibu X :
Biasa saja seperti anak pada umumnya. Hanya
saja dia sangat manja dengan saya, dan di usianya yang ke 13 ini dia juga masih
menyusu dengan saya.
Mahasisa :
hahaha…
Mungkin karena hanya tinggal berdua kali bu.
Ibu X :
Bisa dibilang begitu dek.
Mahasiswa :
Bagaimana perkembangan pergaulan anak ibu dan
ibu sendiri setelah perceraian ini?
Ibu X :
Anak saya lebih suka bermain dengan anak-anak
yang jauh dibawah umurnya bisa dibilang balita. Ya karena tetangga saya jarang
anak seusia anak saya dan sudah dewasa-dewasa. Banyak juga tidak jelas kehidupannya,
sering melakukan huru hara, jadi saya sedikit memberi pengawasan agar ia tidak bergaul
dengan mereka.
Mahasiswa :
Oh, gitu bu. Terus, bagaimana dengan pergaulan
ibu sendiri?
Ibu X :
Saya juga bergaul dengan masyarakat seperti
bisanya ibu-ibu dong, suka ngegosip wajarlah. dan kebetulan saya membuka kedai,
jadi setiap hari pada ngumpul di rumah saya.
Mahasiswa :
ia-ia bu. Sampai sekarang masalah apa yang sering muncul
dalam sosial ibu dalam bergaul dengan masyarakat?
Ibu X :
No problem.
Mahasiswa :
Maaf ni bu, dengan perceraian ibu? Biasanya
kan masyarakat berpikiran negatif terhadap seorang yang bercerai apalagi
sekrang ibu seorang janda?
Ibu X :
Dengan hal itu, masyarakat tidak terlalu
peduli ya, wajar dek hidup di perkotaan. Perceraian itu sudah hal yang biasa. Karena
saya juga selalu berusaha untuk bermasyarakat dengan baik jadi orang pun baik
juga dengan kita. Seperti itukan hukumnya. Kecuali saya melakukan hal-hal
negatif pasti deh orang-orangpun jadi benci sama saya.
Mahasiswa :
Ia deh bu. Maaf sebelumnya bu, apakah
ibu pernah berpikir untuk kembali dengan suami ibu ataupun mencari ayah
pengganti untuk anak-anak ibu?
Ibu X :
Untuk kembali tidak, tapi kita juga tidak tau
apa ketentuan Allah selanjutnya. Tapi untuk mencari yang baru ada dong. Terutama
yang bisa merubah kehidupan kami, saya juga sudah capek terus mencari nafkah
sendiri. Dan saya juga ingin pengawasan terhadap anak saya lebih kuat. Dalam
hal ini bukan pengekangan.
Mahasiswa :
Ia bu. Hal apa
yang menjadi motivasi ibu sehingga ibu tetap tabah menjalani hidup sebagai
single parent?
Ibu X :
Simpel saja ya, yang jadi motivasi selama ini
ya Anak saya.
Mahasiswa :
Oh begitu bu. Kalau begitu terima
kasih ya bu atas informasinya, kami doakan semoga ibu mendapatkan apa yang ibu
inginkan. Dan semoga pertemuan kita kali ini menjadi bermanfaat dan menghasilkan
faedah bagi kehidupan kita esok. Amin.
Inti dari percakapan kami adalah ibu X sebagai
single parent menjalani hidupnya dengan sewajarnya seorang ibu, beliau sempat
mengalami depresi namun tidak berkelanjutan dikarenakan keputusan untuk
bercerai adalah keputusannya. Ibu X juga seorang wanita yang terbuka, dengan keterangan-keterangannya
yang sangat kompleks terhadap kami, bahkan ada yang seharusnya tidak ada orang
yang tau namun ibu ini memberitahukan kepada kami, dengan usia yang dibilang masi
produktif yaitu 46 tahun dan berat badan 72 Kg, ibu X masih memiliki niat untuk
menikah lagi setelah perceraiannya yang ketiga dikarenakan khawatir terhadap perkembangan
anak karena kurangnya pengawasan.
BAB III
KESIMPULAN
Pada umumnya,
faktor-faktor penyebab perceraian ialah persoalan ekonomi, perbedaan usia yang besar
dan persoalan prinsip hidup yang berbeda. Perbedaan penekanan dan cara mendidik
anak, juga pengaruh dukungan dari pihak luar (tetangga, sanak saudara, sahabat
dan situasi masyarakat yang terkondisi).
Begitu pula
kondisi yang dialami ibu X. dimana dari perceraiannya yang pertama disebabkan
karena kurangnya tanggung jawab dari seorang suami terhadap istrinya. Faktor
kedua ialah karena tidak adanya keturunan, dan dengan suaminya yang ketiga
ialah karena perbedaan pendidikan, penekanan dan cara berpikir dalam rumah
tangga maupun dalam pengurusan anak.
Scanzoni
and Scanzoni mengatakan pasca perceraian seseorang
tidak perlu bersedih dan tidak perlu mengharapkan kembali mantan pasangannya. Alasannya adalah perceraian itu
sendiri menandakan adanya rasa benci
dan tidak senang hidup bersama lagi. Perceraian tidak harus ditangisi dan seseorang tidak perlu membenamkan dirinya
dalam kesedihan atau kedukaan secara
berlebihan karena kehilangan banyak yang pernah dimilikinya dan dirasakannya selama hidup bersama
pasangannya.
Berdasarkan
teori diatas benar bahwa apa yang dialami ibu X pasca perceraian. Beliau tidak
pernah bersedih dan tidak berharap kembali lagi pada mantan suaminya tersebut.
Hal itu terjadi karena adanya kebencian dan kejenuham membina rumah tangga
dengan mantan suaminya tersebut.
Meskipun
demikian, pasca perceraian akan menjadikan anak sebagai korbannya. Maksudnya
ialah, setelah bercerai seorang anak akan merasa kehilangan kasih sayang yang
utuh dari kedua orang tuanya. Apalagi jika seorang ayah tersebut tidak
menafkahi anaknya dan memberikan kasih sayang serta perhatian. Namun, berbeda
dengan halnya yang dialami oleh anak ibu X, ia merasa tidak begitu membutuhkan
ayahnya, karena sejak ia didalam kandungan sekitar 3 bulan kedua orang tuanya
telah berpisah. Ia justru menganggap teman dekat ibunya sebagai ayahnya. Hal
ini terjadi karena si bapak memberikan apa yang seharusnya diberikan oleh ayah
kandung sianak justru diberikan sibapak tersebut kepada anak dari ibu X. Wajar
jika hal itu terjadi. Seorang anak akan merasakan kasih sayang jika diberikan
dalam bentuk perhatian, dan lain sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA
Dagun, S.M. 2002. Psikologi Keluarga. Jakarta:
Rineka Cipta.
Hurlock. E.B. 1999. Psikologi Perkembangan: Suatu
Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan (edisi kelima). Jakarta : Erlangga.
Ihromi, T. O. Bunga
Rampai Sosiologi Keluarga. Yayasan Obor. 2004. Jakarta.
Rasjidi, L. 1991. Hukum Perkawinan dan Perceraian:
Dimalaysia dan Indonesia. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Ottset.
Su’adah. 2003. Psikologi Umum: DalamLitas Sejarah. Bandung:
Pustaka Setia.
Suiyanto, P. 2004. Membahagiakan Pasangan: Kiat
Mengembangkan dan Memperdalam Relasi Suami Istri. Jakarta : PT. Gramedia
Pustaka Utama.
[2]Hurlock. E.B. 1999. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang
Rentang Kehidupan (edisi kelima). Jakarta : Erlangga. Hlm. 307
[3]Su’adah. 2003. Psikologi Umum: DalamLitas Sejarah. Bandung: Pustaka
Setia. Hlm. 214
[4]Dagun, S.M. 2002. Psikologi Keluarga. Jakarta: Rineka Cipta. Hlm.
114
[5] Rasjidi, L. 1991. Hukum Perkawinan dan Perceraian: Dimalaysia dan
Indonesia. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Ottset. Hlm. 195
[6] Suiyanto, P. 2004. Membahagiakan Pasangan: Kiat Mengembangkan dan
Memperdalam Relasi Suami Istri. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama. Hlm.
14
0 komentar:
Posting Komentar