Kamis, 05 Desember 2013


  MAKALAH STRATEGI PEMBELAJARAN

Strategi Pembelajaran Afetif


DISUSUN OLEH:

ADRI HERMAWAN
KHAIRUL AMRI HSB
HUSNI KHAIDIRALI L
RISKA SAFITRI
RAHMI FAUZIAH
FARHANI SIAGIAN







BIMBINGAN KONSELING ISLAM
FAKULTAS ILMU KEGURUAN DAN TARBIYAH
IAIN-SU
2013

PENDAHULUAN

“Dalam undang-undang  No. 20 Tahun 2003 dijelaskan bahwa Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa bermartabatdalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik, agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berkhlak mulia, sehat, dan berilmu, cakap , kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokrasi serta bertanggung jawab”.[1]
Dengan rumusan tujuan Pendidikan diatas, tidaklah lengkap manakala dalam strategi pembelajaran tidak dilengkapi dengan Strategi yang berhubungan dengan pembentukan sikap dan nilai atau biasa disebut dengan Strategi Afektif. Kebanyakan orang beranggapan bahwasanya sikap atau nilai tidak untuk diajarkan seperti halnya, matematika, bahasa inggris, IPA, IPS dan lain sebagainya, akan tetapi untuk dibentuk. Oleh karena itu, yang lebih tepat untuk bidang Afektif bukanlah Pengajaran namun Pendidikan.
“Strategi pembelajaran Afektif memang berbeda dengan strategi pembelajran kognitif dan keterampilan.Afektif berhubungan dengan nilai (value), yang sulit diukur, oleh karena menyangkut kesadaran seseorang yang tumbuh dari dalam. Kita tak bisa menyimpulkan bahwasanya anak itu baik,misalnya dilihat  dari kebiasaan berbahasa atau sopan santun yang bersangkutan, sebagai akibat dari proses pembelajaran yang dilakukan guru. Mungkin sikap itu terbentuk oleh kebiasaan dalam keluarga dan lingkungan sekitar”.[2]Begitu juga sebaliknya.
Strategi yang dibicarakan dalam makalah ini diarahkan untuk mencapai tujuan pendidikan yang bukan hanya dimensi kognitif saja tetapi juga dimensi yang lainnya, yaitu sikap dan keterampilan, melalui proses pembelajaran menekankan kepada aktivitas siswa sebagai subjek belajar, maka selanjutnya pemakalah mengambil istilah strategi afektif,


STRATEGI PEMBELAJARAN AFEKTIF

A.    Hakikat Strategi Pembelajaran Afektif
Pada dasarnya sikap (Afektif) erat kaitannya dengan nilai yang dimiliki seseorang.Sikap merupakan perwujudan dari nilai yang dimiliki seseorang.Oleh karenya pendidikan sikap adalah pendidikan nilai.
Nilai adalah suatu konsep yang berada dalam pikiran manusia yang sifatnya tersembunyi, tidak berada di dalam dunia yang empiris. Nilai berhubungan dengan pandangan seseorang tentang baik dan buruk, indah dan tidak indah, layak dan tidak layak, adil dan tidak adil, dan lain sebagainya.pandangan seseorang tentang semua itu tidak  bisa diraba, kita hanya mungkin bisa mengetahuinya dari perilaku yang bersangkutan. Oleh karena itulah nilai pada dasarnya standar perilaku yang bersangkutan, ukuran yang menentukan atau kriteria seseorang tentang baik dan tidak baik, indah dan tidak indah, dan sebagainya, sehingga standar itu yang akan mewarnai perilaku seseorang.[3]
Dengan demikian, strategi pembelajaran afektif pada dasarnya adalah proses penanaman nilai kepada peserta didik dengan pembelajaran yang diharapkan setelahnya siswa dapat berperilaku sesuai dengan pandangan yang dianggapnya baik dan yang tidak bertentangan dengan norma-norma yang berlaku.
Dauglas Graham melihat empat faktor  yang merupakan dasar kepatuhan seseorang terhadap nilai tertentu, yaitu:
a.       Normativist,biasanya kepatuhan pada norma-norma hukum. Selanjutnya dikatakan bahwa kepatuhan ini terdapat dalam tiga bentuk, yaitu:             (1) kepatuhan pada nilai atau norma itu sendiri; (2) kepatuhan pada proses tanpa memedulikan normanya sendiri; (3) kepatuhan pada hasilnya atau tujuan yang diharapkannya dari peraturan itu.
b.      Integralist, yaitu kepatuhan yang didasarkan pada kesadaran dengan pertimbangan-pertimbangan yang rasional.
c.       Fenomenalist, yaitu kepatuhan berdasarkan suara hati atau sekadar basa-basi.
d.      Hedonist, yaitu kepauhan berdasarkan kepentingan diri sendiri.
Dari keempat faktor yang menjadi dasar kepatuhan seseorang atau individual, tentu saja kami dapat mengambil kesimpulan dan memilih kepada faktor normativist, karena jika kita lihat dalam faktor ini kepatuhan seseorang itu didasari dengan kesadaran nilai, tanpa memedulikan apakah perilaku itu menguntungan bagi dirinya atau tidak.
Nilai yang dimiliki seseorang tidaklah statis, akan tetapi selalu berubah. Setiap orang akan menganggap sesuatu itu baik sesuai dengan pandangannya saat itu. Oleh sebab itu sistem nilai yang dimiliki seseorang itu bisa dibina dan diarahkan. Sikap seseorang sangat tergantung pada sistem nilai yang dianggapnya paling benar, dan kemudian sikap itu yang akan mengendalikan perilaku orang tersebut. Kita ambil contoh, jika seseorang menganggap bahwa nilai agama adalah diatas segalanya, maka nilai-nilai yang lain akan tergantung pada nilai agama itu.
Komitmen seseorang terhadap suatu nilai tertentu terjadi melalui pembentukan sikap, yakni kecenderungan seseorang terhadap suatu objek. Misalnya, jika seseorang sedang berhadapan dengan suatu objek, maka manakala ia akan menunjukkan gejala senang atau tidak senang.
Gulo menyimpulkan tentang nilai sebagai berikut :
Ø  Nilai tidak bisa diajarkan tetapi diketahui dari penampilannya.
Ø  Pengembangan domain afektif pada nilai tidak bisa dipisahkan dari aspek kognitif dan psikomotorik.
Ø  Masalah nilai adalah masalah emosional dan karena itu dapat berubah,berkembang, sehingga bisa dibina.
Ø  Pengembangan nilai atau moral tidak terjadi sekaligus, tetapi melalui tahap tertentu.[4]
Dari kesimpulan diatas dapat ditarik lagi kesimpulan bahwa pernyataan seseorang tentang nilai yang dianggapnya sangat dipengaruhi oleh tingkat pemahamannya (aspek kognitif) dan kemampuan untuk bertindak kepadanya (aspek psikomotorik).

B.     Proses Pembentukan Sikap

a.      Pola Pembiasaan

Dalam proses pembelajaran disekolah, baik secara disadari atau tidak, guru dapat menanamkan sikaptertentu kepada siswa melalui proses pembiasaan. Belajar membentuk sikap melalui pembiasaan itu dilakukan juga oleh Skinner melalui teorinya operant conditioning.Pembentukan sikap yang dilakukan Skinner menekankan pada proses peneguhan respons anak. Setiap kali anak menunjukkan prestasi yang baik diberikan penguatan (reinforcement) dengan cara memberikan hadiah atau prilaku yang menyenangkan. Lama-kelamaan, anak berusaha meningkatkan sikap positifnya.

b.      Modeling
Pembelajaran sikap seseorang dapat juga dilakukan melalui proses modeling, yaitu pembentukan sikap melalui proses asimilasi atau proses mencontoh. Prisip peniruan ini yang dimaksud dengan modeling adalah proses peniruan anak terhadap orang lain yang menjadi idolanya atau orang yang dihormatinya. Pemodelan biasanya dimulai dari perasaan kagum.Proses penanaman sikap anak terhadap suatu objek melalui proses modeling pada mulanya dilakukan secara mencontoh, namun anak perlu diberi pemahaman mengapa hal itu dilakukan.[5]
Dari kedua proses pembentukan sikap tersebut yang bisa dilakukan melalui pembiasaan dan modeling, menurut pemakalah sendiri anak akan lebih dominan melakukan hal-hal yang sudah dibiasakan oleh lingkungannya kemudian ia akan melihat siapa yang diidolakannya, dan menjadikan idolanya sebagai bagian dari dirinya. Pembiasaan yang baik maka akan menghasilkan sikap yang baik pula bagi sang anak, begitu juga orang yang diidolakan bila sang idola pantas menjadi panutan maka biarkan anak itu mencontohnya tetapi bila apa yang diidolakan itu tidak baik maka arahkan anak kepada hal yang pantas untuk diidolakan.

C.    Model Strategi Pembelajaran Afektif
Pembelajaran afektif berbeda dengan pembelajaran intelektual dan keterampilan, karena segi afektif sangat bersifat subjektif, lebih mudah berubah, dan tidak ada materi khusus yang harus dipelajari.Hal-hal diatas menuntut penggunaan metode mengajar dan evaluasi hasil belajar yang berbeda dari mengajar segi kognitif dan keterampilan.Ada beberapa model pemebelajaran afektif.Merujuk pada pemikiran Nana Syaodih Sukmadinata (2005) akan dikemukakan beberapa model pembelajaran afektif yang populer dan banyak digunakan.[6]

1. Model Konsiderasi
“Model konsiderasi (the consideration model) dikembangkan oleh Mc. Paul, seorang humanis. Paul menganggap bahwa pembentukan moral tidak sama dengan pengembangan kognitif yang rasional. Pembelajaran moral siswa menurutnya adalah pembentukan kepribadian bukan pengembangan intelektual. Oleh sebab itu, model ini menekankan krpada strategi pembelajaran yang dapat membentuk kepribadian.tujuannya adalah agar siswa menjadi manusia yang memiliki kepedulian terhadap orang lain. Implementasi model konsiderasi guru dapat mengikuti tahapan-tahapan dibawah ini:
Langkah-langkah pembelajaran konsiderasi: (1) menghadapkan siswa pada situasi yang mengandung konflik, (2) menyuruh siswa menganalisis situasi untuk menemukan isyarat-isyarat yang tersembunyi berkenaan dengan perasaan, kebutuhan dan kepentingan orang lain, (3) siswa menuliskan responsnya terhadap masalahnya masing-masing, (4) siswa menganalisis respons siswa lain, (5) mengajak siswa melihat konsekuesi dari tiap tindakannya, (6) mengajak siswa memandang permasalahan dari berbagai sudut pandang, (7)  meminta siswa untuk menentukan pilihannya sendiri”.[7]
Menurut pemakalah model ini bagus untuk dikembangkan pada setiap siswa.Karena, pembentukan moral atau kepribadian yang baik harus ditanamkan sejak dini. Supaya kelak diwaktu dewasa anak memiliki kepribadian yang baik, baik dalam memimpin dirinya dan orang lain.
2.      Model Pembentukan Kognitif
“Model pengembangan kognitif (the cognitive development model) dikembangkan oleh Lawrence Kholberg. Model ini hanya diilhami oleh pemikiran John Dewey dan Jean Piaget yang berpendapat bahwa perkembangan manusia terjadi sebagai proses dari restrukturisasi kognitif yang berlangsung secara berangsur-angsur menurut urutan tertentu. Menurut Kohlberg, moral manusia itu berkembang melalui 3 tingkat, dan setiap tingkat terdiri dari 2 tahap. Tingakat-tingkat tersebut antara lain :

a.      Tingkat Prakonvensional
Pada tingkat ini setiap individu memandang moral berdasarkan kepentingannya sendiri.Artinya, pertimbangan moral didasarkan pada pandangannya secara individual tanpa menghiraukan rumusan dan aturan yang dibuat oleh masyarakat. Pada tingkat ini dibagi dua tahap yaitu:Tahap 1 orientasi hukuman dan kepatuhan, perilaku anak didasarkan kepada konsekuensi fisik yang akan terjadi. Anak hanya berfikir bahwa perilaku yang benar adalah perilaku yang tidak akan mengakibatkan hukuman. Jadi peraturan harus dipatuhui agar tidak timbul konsekuensi negatif :Tahap 2 orientasi instrumental-relatif, perilaku anak didasarkan kepada rasa “adil” berdasarkan aturan permainan yang telah disepakati. Dikatakan adil manakala orang membalas perilaku kita yang dianggap baik, dengan demikian perilaku itu didasarkan kepada saling menolong dan saling meberi.

c.       Tingkat Konvensional
Dalam tahap ini anak mendekati masalah didasarkan pada hubungan individu masyarakat. Pemecahan masalah bukan hanya didasarkan pada keadilan belaka, akan tetapi apakah permasalahan itu sesuai dengan norma masyarakat. Pada tingkat prakonvensional ada dua tahap yang merupaka lanjutan dari tahap sebelumnya yaitu: Tahap 3 keselarasan interpersonal, tahap ini ditandai dengan setiap prilaku yang ditampilkan individu didorong oleh keinginan untuk memenuhi harapan orang lain. Artinya anak sadar bahwa ada hubungan anatara dirinya dengan orang lain. Tahap 4 sistem sosial dan kata hati, pada tahap ini tidak hanya didorong oleh harapan orang lain, akan tetapi didasarkan pada tuntutan dan harapan masyarakat. Artinya, anak sudah menerima adanya system sosial yang mengatur prilaku individu.

d.      Tingkat Postkonvensional
Pada tahap ini prilaku bukan hanya didasarkan pada kepatuhan terhadap norma-norma masyarakat yang berlaku, akan tetapi didasarkan oleh adanya kesadaran sesuai dengan nilai-nilai yang dimilikinya secara individu. Seperti pada tingkat sebelumnya, pada tingkat ini juga terdiri dari dua tahap, yaitu: Tahap 5 kontak sosial, pada tahap ini prilaku individu didasarkan pada kebenaran-kebenaran yang diakui oleh masyarakat. Tahap 6 prinsip etis yang universal, pada tahap terakhir, prilaku manusia didasarkan pada prinsip-prinsip universal.[8]
            Menurut pemakalah model pengembangan kognitif ini sangat kompleks sekali, untuk mencapai apakah seseorang itu bermoral baik atau tidak maka dengan adanya tingkatan ini kita bisa  melihat sudah sampai pada tingkat berapa moral kita. Dengan adanya  tingkatan-tingkatan ini tentunya guru dapat dengan mudah menilai siswanya.

3. Klarifikasi nilai
Tiknik mengklasifikasi nilai (value clarification technique) atau sering disingkat VCT dapat diartikan sebagai teknik pengajaran untuk membantu siswa dalam mencari dan menentukan suatu nilai yang dianggap baik dalam menghadapi suatu pesoalan melalui proses menganalisis nilai yang sudah ada dan tertanam dalam diri siswa.Salah satu karakteristik VCT sebagai suatu model dalam strategi pembelajaran sikap adalah proses penanaman nilai dilakukan melalui proses analisis nilai yang sudah ada sebelumnya dalam diri siswa kemudian menyelaraskannya dengan nilai-nilai baru yang hendak ditanamkan. VCT sebagai model strategi bertujuan:
·         untuk mengukur atau mengetahui tingkat kesadaran siswa tentang suatu nilai.
·         Membina kesadaran siswa.
·         Untuk menanamkan nilai-nilai tertentu kepada siswamelalui  cara rasional dan diterima siswa.
·         Melatih siswa bagaimana cara menilai, meneima, serta mengambil keputusan terhadap suatu persoalan.
John Jarolimek menjelaskan langkah pembelajaran dengan VCT dalam 7 tahap yang dibagi kedalam 3 tingkat, setiap tahapan dijelaskan dibawah ini:
1.      Kebesan memilih
·         Memilih secara bebas.
·         Memilih dai berbagai alternative.
·         Memilih setelah dilakukan analisis.
2.      Menghargai
·         Adanya perasaan senang dan bangga dengan nilai yang dipilihnya.
·         Menegaskan nilai yang sudah menjadi bagian integral dalam dirinya didepan umum.
3.      Berbuat
·         Kemauan dan kemampuan untuk mencoba melaksanakannya.
·         Mengulangi prilaku sesuai dengan nilai pilihannya.[9]

Teknik ataupun model ini sebenarnya hampir sama dengan model pengembangan kognitif diatas, hanya saja didalam teknik ini siswa lebih dituntut dan diarahkan agar dapat menilai sendiri sesuatu itu baik atau tidak untuk dilakukan. Tentu saja menurut pemakalah ketiga teknik ini sebenarnya saling berkaitan, karena dari ketiga model yang ada memiliki tujuan yang sama yaitu agar siswa dapat mengetahui apa itu nilai dan bagaimana menilai itu.

D.    Kesulitan dalam Strategi Pembelajaran Afektif
Disamping aspek pembentukan kemampuan intelektual untuk membentuk kecerdasan peserta didik dan dan pembentukan keterampilan untuk mengembangkan kompetensi agar peserta didik memiliki kemampuan motorik, maka pembentukan sikap peserta didik merupakan aspek yang tidak kalah pentingnya, ada beberapa kesulitan yang disebabkan dalam proses pembelajaran dan pembentukan akhlak, yaitu:
  1. Selama ini proses pendidikan sesuai dengan kurikulum yang berlaku, cenderung diarahkan untuk membentuk intelektual, akibatnya upaya yang dilakukan oleh seorang guru diarahkan kepada bagaimana anak dapat menguasai pengetahuan sesuai dengan standar isi kurikulum yang berlaku, oleh karena kemampuan intelektual identik dengan penguasaan materi pelajaran.
  2. Sulitnya melakukan control karena banyaknya factor yang dapat mempengaruhi perkembangan sikap seseorang, pengembangan kemampuan sikap baik melalui proses pembiasaan maupun model bukan hanya ditentukan oleh factor guru, akan tetapi terutama dari factor lingkungan.
  3. Keberhasilan pembentukan sikap tidak bisa dievaluasi dengan segera, berbeda dengan pengembangan aspek kognitif, an aspek keterampilan yang hasilnya dapat diketahui setelah pembelajaran berakhir, maka keberhasilan dari pembentukan sikap baru dapat dilihat dari rentang waktu yang cukup panjang.[10]
Tambahan dari pemakalah, penyebab kesulitan dalam  proses pembelajaran dan pembentukan akhlak adalah faktor perkembangan teknologi dan informasi yang tidak terkendali hingga menyebabkan munculnya informasi atau tayangan-tayangan di TV ataupun di internet yang mulanya itu hanyalah tontonan menjadi tuntunan dan yang seharusnya tuntunan menjadi tontonan.
KESIMPULAN

Banyak yang beranggapan bahwa pembelajaran afektif bukan untuk diajarkan, seperti pelajaran Biologi, Fisika ataupun Matematika. Pembelajaran afektif merupakan pembelajaran bagaimana sikap itu terbentuk setelah siswa memperoleh pembelajaran, oleh karena itu yang pas untuk afektif bukanlah pengajaran melainkan pendidikan.Afektif berhubungan sekali dengan nilai (Value) yang sulit diukur karena menyangkut kesadaran seseorang yang tumbuh dari dalam. Dalam batas tertentu afektif dapat muncul dalam kejadian Behavioral, akan tetapi penilaian untuk sampai pada kesimpulan yang dapat di pertanggungjawabkan membutuhkan ktelitian dan observasi yang terus menerus dan hal ini tidak mudah dilakukan, dalam proses pembelajaran di sekolah, baik secara disadari maupun tidak guru dapat menanamkan sikap tertentu kepada siswa melalui proses pembiasaan. Dan yang paling utama adalah bagaimana cara guru dalam menerapkan strategi ini, dan bagaimana cara guru tersebut menyelesaikan kesulitan-kesulitan yang sudah pasti ada dalam suatu strategi.
Yang termasuk kemampuan afektif adalah sebagai berikut :
a.       Menerima (Receiving) yaitu : kesediaan untuk memperhatikan.
b.      Menanggapi (Responding), yaitu afektif berpartisipasi.
c.       Menghargai (Valuing), yaitu penghargaan kepada benda, gejala, perbuatan tertentu.
d.      Membentuk (Organization), yaitu : memadukan nilai yang berbeda.
e.       Berpribadi (Characterization by Value of value complex), yaitu : Mempunyai sistem nilai yang mengendalikan perbuatan untuk menumbuhkan gaya hidup yang mantap.




DAFTAR PUSTAKA

Masitoh dan Dewi Laksmi, Strategi Pembelajaran, Direktorat Jendral Pendidikan Islam, Jakarta:  2009
Sanjaya Wina,Strategi Pembelajaran Berorientasi Stan dar Pendidikan. Kencana.Jakarta : 2008
Sudrajat Ahmad. 8 mei 2008. Model Strategi Yang Afektif. http// Akhmadsudrajat. Word press. Com



[1] Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Beroriantasi Standar Proses Pendidikan, Kencana Prenada Media (2006:Jakarta), h. 273

[2]Ibid, h. 274
[3]. Masitoh dan Laksmi Dewi, Strategi Pembelajaran, (Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Islam, 2009), h. 201
[4]. Wina Sanjaya,Op.cit, h. 276
[5]. Masitoh dan Laksmi Dewi, Op. cit, h. 203

[7]. Masitoh dan Laksmi Dewi, Op.Cit, h. 208.
[8]. Masitoh dan Laksmi Dewi ,Op.cit, h. 209.
[9].  Ibid, h. 210.
[10] Ahmad Sudrajat. 8 mei 2008. Model Strategi Yang Afektif. http// Akhmadsudrajat. Word press. com

0 komentar:

Posting Komentar

 
;