MAKALAH STRATEGI
PEMBELAJARAN
Strategi Pembelajaran Afetif
DISUSUN OLEH:
ADRI HERMAWAN
KHAIRUL AMRI HSB
HUSNI KHAIDIRALI L
RISKA SAFITRI
RAHMI FAUZIAH
FARHANI SIAGIAN
BIMBINGAN
KONSELING ISLAM
FAKULTAS
ILMU KEGURUAN DAN TARBIYAH
IAIN-SU
2013
PENDAHULUAN
“Dalam undang-undang No. 20 Tahun 2003 dijelaskan bahwa Pendidikan
Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa bermartabatdalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya
potensi peserta didik, agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berkhlak mulia, sehat, dan berilmu, cakap , kreatif,
mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokrasi serta bertanggung jawab”.[1]
Dengan rumusan
tujuan Pendidikan diatas, tidaklah lengkap manakala dalam strategi pembelajaran
tidak dilengkapi dengan Strategi yang berhubungan dengan pembentukan sikap dan nilai
atau biasa disebut dengan Strategi Afektif. Kebanyakan orang beranggapan
bahwasanya sikap atau nilai tidak untuk diajarkan seperti halnya, matematika,
bahasa inggris, IPA, IPS dan lain sebagainya, akan tetapi untuk dibentuk. Oleh
karena itu, yang lebih tepat untuk bidang Afektif bukanlah Pengajaran
namun Pendidikan.
“Strategi pembelajaran Afektif
memang berbeda dengan strategi pembelajran kognitif dan keterampilan.Afektif
berhubungan dengan nilai (value), yang sulit diukur, oleh karena menyangkut
kesadaran seseorang yang tumbuh dari dalam. Kita tak bisa menyimpulkan
bahwasanya anak itu baik,misalnya dilihat
dari kebiasaan berbahasa atau sopan santun yang bersangkutan, sebagai
akibat dari proses pembelajaran yang dilakukan guru. Mungkin sikap itu
terbentuk oleh kebiasaan dalam keluarga dan lingkungan sekitar”.[2]Begitu
juga sebaliknya.
Strategi yang
dibicarakan dalam makalah ini diarahkan untuk mencapai tujuan pendidikan yang
bukan hanya dimensi kognitif saja tetapi juga dimensi yang lainnya, yaitu sikap
dan keterampilan, melalui proses pembelajaran menekankan kepada aktivitas siswa
sebagai subjek belajar, maka selanjutnya pemakalah mengambil istilah strategi
afektif,
A.
Hakikat
Strategi Pembelajaran Afektif
Pada dasarnya sikap (Afektif) erat kaitannya dengan nilai yang
dimiliki seseorang.Sikap merupakan perwujudan dari nilai yang dimiliki
seseorang.Oleh karenya pendidikan sikap adalah pendidikan nilai.
Nilai adalah
suatu konsep yang berada dalam pikiran manusia yang sifatnya tersembunyi, tidak
berada di dalam dunia yang empiris. Nilai berhubungan dengan pandangan
seseorang tentang baik dan buruk, indah dan tidak indah, layak dan tidak layak,
adil dan tidak adil, dan lain sebagainya.pandangan seseorang tentang semua itu
tidak bisa diraba, kita hanya mungkin
bisa mengetahuinya dari perilaku yang bersangkutan. Oleh karena itulah nilai
pada dasarnya standar perilaku yang bersangkutan, ukuran yang menentukan atau
kriteria seseorang tentang baik dan tidak baik, indah dan tidak indah, dan
sebagainya, sehingga standar itu yang akan mewarnai perilaku seseorang.[3]
Dengan
demikian, strategi pembelajaran afektif pada dasarnya adalah proses penanaman
nilai kepada peserta didik dengan pembelajaran yang diharapkan setelahnya siswa
dapat berperilaku sesuai dengan pandangan yang dianggapnya baik dan yang tidak
bertentangan dengan norma-norma yang berlaku.
Dauglas Graham melihat empat faktor
yang merupakan dasar kepatuhan seseorang terhadap nilai tertentu, yaitu:
a.
Normativist,biasanya
kepatuhan pada norma-norma hukum. Selanjutnya dikatakan bahwa kepatuhan ini
terdapat dalam tiga bentuk, yaitu:
(1) kepatuhan pada nilai atau norma itu sendiri; (2) kepatuhan pada
proses tanpa memedulikan normanya sendiri; (3) kepatuhan pada hasilnya atau
tujuan yang diharapkannya dari peraturan itu.
b.
Integralist,
yaitu kepatuhan yang didasarkan pada kesadaran dengan pertimbangan-pertimbangan
yang rasional.
c.
Fenomenalist,
yaitu kepatuhan berdasarkan suara hati atau sekadar basa-basi.
d.
Hedonist,
yaitu kepauhan berdasarkan kepentingan diri sendiri.
Dari keempat
faktor yang menjadi dasar kepatuhan seseorang atau individual, tentu saja kami
dapat mengambil kesimpulan dan memilih kepada faktor normativist, karena jika
kita lihat dalam faktor ini kepatuhan seseorang itu didasari dengan kesadaran
nilai, tanpa memedulikan apakah perilaku itu menguntungan bagi dirinya atau
tidak.
Nilai yang
dimiliki seseorang tidaklah statis, akan tetapi selalu berubah. Setiap orang
akan menganggap sesuatu itu baik sesuai dengan pandangannya saat itu. Oleh
sebab itu sistem nilai yang dimiliki seseorang itu bisa dibina dan diarahkan.
Sikap seseorang sangat tergantung pada sistem nilai yang dianggapnya paling
benar, dan kemudian sikap itu yang akan mengendalikan perilaku orang tersebut.
Kita ambil contoh, jika seseorang menganggap bahwa nilai agama adalah diatas segalanya,
maka nilai-nilai yang lain akan tergantung pada nilai agama itu.
Komitmen seseorang terhadap suatu
nilai tertentu terjadi melalui pembentukan sikap, yakni kecenderungan seseorang
terhadap suatu objek. Misalnya, jika seseorang sedang berhadapan dengan suatu
objek, maka manakala ia akan menunjukkan gejala senang atau tidak senang.
Gulo menyimpulkan tentang nilai
sebagai berikut :
Ø Nilai tidak bisa diajarkan tetapi diketahui dari penampilannya.
Ø Pengembangan domain afektif pada nilai tidak bisa dipisahkan dari
aspek kognitif dan psikomotorik.
Ø Masalah nilai adalah masalah emosional dan karena itu dapat
berubah,berkembang, sehingga bisa dibina.
Ø Pengembangan nilai atau moral tidak terjadi sekaligus, tetapi melalui
tahap tertentu.[4]
Dari kesimpulan
diatas dapat ditarik lagi kesimpulan bahwa pernyataan seseorang tentang nilai
yang dianggapnya sangat dipengaruhi oleh tingkat pemahamannya (aspek kognitif)
dan kemampuan untuk bertindak kepadanya (aspek psikomotorik).
B.
Proses Pembentukan Sikap
a.
Pola Pembiasaan
Dalam proses
pembelajaran disekolah, baik secara disadari atau tidak, guru dapat menanamkan
sikaptertentu kepada siswa melalui proses pembiasaan. Belajar membentuk sikap
melalui pembiasaan itu dilakukan juga oleh Skinner melalui teorinya operant conditioning.Pembentukan sikap
yang dilakukan Skinner menekankan pada proses peneguhan respons anak. Setiap
kali anak menunjukkan prestasi yang baik diberikan penguatan (reinforcement)
dengan cara memberikan hadiah atau prilaku yang menyenangkan. Lama-kelamaan,
anak berusaha meningkatkan sikap positifnya.
b.
Modeling
Pembelajaran sikap seseorang dapat
juga dilakukan melalui proses modeling, yaitu pembentukan sikap melalui proses
asimilasi atau proses mencontoh. Prisip peniruan ini yang dimaksud dengan
modeling adalah proses peniruan anak terhadap orang lain yang menjadi idolanya
atau orang yang dihormatinya. Pemodelan biasanya dimulai dari perasaan
kagum.Proses penanaman sikap anak terhadap suatu objek melalui proses modeling
pada mulanya dilakukan secara mencontoh, namun anak perlu diberi pemahaman
mengapa hal itu dilakukan.[5]
Dari kedua
proses pembentukan sikap tersebut yang bisa dilakukan melalui pembiasaan dan
modeling, menurut pemakalah sendiri anak akan lebih dominan melakukan hal-hal
yang sudah dibiasakan oleh lingkungannya kemudian ia akan melihat siapa yang
diidolakannya, dan menjadikan idolanya sebagai bagian dari dirinya. Pembiasaan
yang baik maka akan menghasilkan sikap yang baik pula bagi sang anak, begitu
juga orang yang diidolakan bila sang idola pantas menjadi panutan maka biarkan
anak itu mencontohnya tetapi bila apa yang diidolakan itu tidak baik maka
arahkan anak kepada hal yang pantas untuk diidolakan.
C.
Model Strategi Pembelajaran Afektif
Pembelajaran afektif berbeda dengan pembelajaran intelektual
dan keterampilan, karena segi afektif sangat bersifat subjektif, lebih mudah
berubah, dan tidak ada materi khusus yang harus dipelajari.Hal-hal diatas
menuntut penggunaan metode mengajar dan evaluasi hasil belajar yang berbeda
dari mengajar segi kognitif dan keterampilan.Ada beberapa model pemebelajaran
afektif.Merujuk pada pemikiran Nana Syaodih Sukmadinata (2005) akan dikemukakan
beberapa model pembelajaran afektif yang populer dan banyak digunakan.[6]
1.
Model Konsiderasi
“Model
konsiderasi (the consideration model) dikembangkan oleh Mc. Paul, seorang
humanis. Paul menganggap bahwa pembentukan moral tidak sama dengan pengembangan
kognitif yang rasional. Pembelajaran moral siswa menurutnya adalah pembentukan
kepribadian bukan pengembangan intelektual. Oleh sebab itu, model ini menekankan
krpada strategi pembelajaran yang dapat membentuk kepribadian.tujuannya adalah
agar siswa menjadi manusia yang memiliki kepedulian terhadap orang lain.
Implementasi model konsiderasi guru dapat mengikuti tahapan-tahapan dibawah
ini:
Langkah-langkah
pembelajaran konsiderasi: (1) menghadapkan siswa pada situasi yang mengandung
konflik, (2) menyuruh siswa menganalisis situasi untuk menemukan
isyarat-isyarat yang tersembunyi berkenaan dengan perasaan, kebutuhan dan
kepentingan orang lain, (3) siswa menuliskan responsnya terhadap masalahnya
masing-masing, (4) siswa menganalisis respons siswa lain, (5) mengajak siswa
melihat konsekuesi dari tiap tindakannya, (6) mengajak siswa memandang
permasalahan dari berbagai sudut pandang, (7) meminta siswa untuk menentukan pilihannya
sendiri”.[7]
Menurut pemakalah model ini bagus untuk dikembangkan pada
setiap siswa.Karena, pembentukan moral atau kepribadian yang baik harus
ditanamkan sejak dini. Supaya kelak diwaktu dewasa anak memiliki kepribadian
yang baik, baik dalam memimpin dirinya dan orang lain.
2. Model Pembentukan Kognitif
“Model
pengembangan kognitif (the cognitive development model) dikembangkan oleh
Lawrence Kholberg. Model ini hanya diilhami oleh pemikiran John Dewey dan Jean
Piaget yang berpendapat bahwa perkembangan manusia terjadi sebagai proses dari
restrukturisasi kognitif yang berlangsung secara berangsur-angsur menurut
urutan tertentu. Menurut Kohlberg, moral manusia itu berkembang melalui 3
tingkat, dan setiap tingkat terdiri dari 2 tahap. Tingakat-tingkat tersebut
antara lain :
a. Tingkat
Prakonvensional
Pada tingkat ini setiap
individu memandang moral berdasarkan kepentingannya sendiri.Artinya,
pertimbangan moral didasarkan pada pandangannya secara individual tanpa
menghiraukan rumusan dan aturan yang dibuat oleh masyarakat. Pada tingkat ini
dibagi dua tahap yaitu:Tahap 1 orientasi
hukuman dan kepatuhan, perilaku anak didasarkan kepada konsekuensi fisik
yang akan terjadi. Anak hanya berfikir bahwa perilaku yang benar adalah
perilaku yang tidak akan mengakibatkan hukuman. Jadi peraturan harus dipatuhui
agar tidak timbul konsekuensi negatif :Tahap
2 orientasi instrumental-relatif, perilaku anak didasarkan kepada rasa
“adil” berdasarkan aturan permainan yang telah disepakati. Dikatakan adil
manakala orang membalas perilaku kita yang dianggap baik, dengan demikian
perilaku itu didasarkan kepada saling menolong dan saling meberi.
c. Tingkat
Konvensional
Dalam tahap ini anak
mendekati masalah didasarkan pada hubungan individu masyarakat. Pemecahan
masalah bukan hanya didasarkan pada keadilan belaka, akan tetapi apakah
permasalahan itu sesuai dengan norma masyarakat. Pada tingkat prakonvensional
ada dua tahap yang merupaka lanjutan dari tahap sebelumnya yaitu: Tahap 3 keselarasan interpersonal, tahap
ini ditandai dengan setiap prilaku yang ditampilkan individu didorong oleh
keinginan untuk memenuhi harapan orang lain. Artinya anak sadar bahwa ada
hubungan anatara dirinya dengan orang lain. Tahap
4 sistem sosial dan kata hati, pada tahap ini tidak hanya didorong oleh harapan
orang lain, akan tetapi didasarkan pada tuntutan dan harapan masyarakat.
Artinya, anak sudah menerima adanya system sosial yang mengatur prilaku
individu.
d.
Tingkat
Postkonvensional
Pada tahap ini prilaku
bukan hanya didasarkan pada kepatuhan terhadap norma-norma masyarakat yang
berlaku, akan tetapi didasarkan oleh adanya kesadaran sesuai dengan nilai-nilai
yang dimilikinya secara individu. Seperti pada tingkat sebelumnya, pada tingkat
ini juga terdiri dari dua tahap, yaitu: Tahap
5 kontak sosial, pada tahap ini prilaku individu didasarkan pada
kebenaran-kebenaran yang diakui oleh masyarakat. Tahap 6 prinsip etis yang universal, pada tahap terakhir, prilaku
manusia didasarkan pada prinsip-prinsip universal.[8]
Menurut pemakalah model pengembangan kognitif ini sangat
kompleks sekali, untuk mencapai apakah seseorang itu bermoral baik atau tidak
maka dengan adanya tingkatan ini kita bisa
melihat sudah sampai pada tingkat berapa moral kita. Dengan adanya tingkatan-tingkatan ini tentunya guru dapat
dengan mudah menilai siswanya.
3.
Klarifikasi nilai
Tiknik
mengklasifikasi nilai (value clarification technique) atau sering disingkat VCT
dapat diartikan sebagai teknik pengajaran untuk membantu siswa dalam mencari
dan menentukan suatu nilai yang dianggap baik dalam menghadapi suatu pesoalan
melalui proses menganalisis nilai yang sudah ada dan tertanam dalam diri siswa.Salah
satu karakteristik VCT sebagai suatu model dalam strategi pembelajaran sikap
adalah proses penanaman nilai dilakukan melalui proses analisis nilai yang
sudah ada sebelumnya dalam diri siswa kemudian menyelaraskannya dengan
nilai-nilai baru yang hendak ditanamkan. VCT sebagai model strategi bertujuan:
·
untuk
mengukur atau mengetahui tingkat kesadaran siswa tentang suatu nilai.
·
Membina
kesadaran siswa.
·
Untuk
menanamkan nilai-nilai tertentu kepada siswamelalui cara rasional dan diterima siswa.
·
Melatih
siswa bagaimana cara menilai, meneima, serta mengambil keputusan terhadap suatu
persoalan.
John Jarolimek
menjelaskan langkah pembelajaran dengan VCT dalam 7 tahap yang dibagi kedalam 3
tingkat, setiap tahapan dijelaskan dibawah ini:
1.
Kebesan
memilih
·
Memilih
secara bebas.
·
Memilih
dai berbagai alternative.
·
Memilih
setelah dilakukan analisis.
2.
Menghargai
·
Adanya
perasaan senang dan bangga dengan nilai yang dipilihnya.
·
Menegaskan
nilai yang sudah menjadi bagian integral dalam dirinya didepan umum.
3.
Berbuat
·
Kemauan
dan kemampuan untuk mencoba melaksanakannya.
·
Mengulangi
prilaku sesuai dengan nilai pilihannya.[9]
Teknik
ataupun model ini sebenarnya hampir sama dengan model pengembangan kognitif
diatas, hanya saja didalam teknik ini siswa lebih dituntut dan diarahkan agar
dapat menilai sendiri sesuatu itu baik atau tidak untuk dilakukan. Tentu saja
menurut pemakalah ketiga teknik ini sebenarnya saling berkaitan, karena dari
ketiga model yang ada memiliki tujuan yang sama yaitu agar siswa dapat
mengetahui apa itu nilai dan bagaimana menilai itu.
D.
Kesulitan
dalam Strategi Pembelajaran Afektif
Disamping aspek pembentukan kemampuan intelektual untuk
membentuk kecerdasan peserta didik dan dan pembentukan keterampilan untuk
mengembangkan kompetensi agar peserta didik memiliki kemampuan motorik, maka
pembentukan sikap peserta didik merupakan aspek yang tidak kalah pentingnya,
ada beberapa kesulitan yang disebabkan dalam proses pembelajaran dan
pembentukan akhlak, yaitu:
- Selama ini proses pendidikan sesuai dengan kurikulum yang berlaku, cenderung diarahkan untuk membentuk intelektual, akibatnya upaya yang dilakukan oleh seorang guru diarahkan kepada bagaimana anak dapat menguasai pengetahuan sesuai dengan standar isi kurikulum yang berlaku, oleh karena kemampuan intelektual identik dengan penguasaan materi pelajaran.
- Sulitnya melakukan control karena banyaknya factor yang dapat mempengaruhi perkembangan sikap seseorang, pengembangan kemampuan sikap baik melalui proses pembiasaan maupun model bukan hanya ditentukan oleh factor guru, akan tetapi terutama dari factor lingkungan.
- Keberhasilan pembentukan sikap tidak bisa dievaluasi dengan segera, berbeda dengan pengembangan aspek kognitif, an aspek keterampilan yang hasilnya dapat diketahui setelah pembelajaran berakhir, maka keberhasilan dari pembentukan sikap baru dapat dilihat dari rentang waktu yang cukup panjang.[10]
Tambahan dari pemakalah, penyebab kesulitan dalam proses pembelajaran dan pembentukan akhlak
adalah faktor perkembangan teknologi dan informasi yang tidak terkendali hingga
menyebabkan munculnya informasi atau tayangan-tayangan di TV ataupun di
internet yang mulanya itu hanyalah tontonan menjadi tuntunan dan yang
seharusnya tuntunan menjadi tontonan.
KESIMPULAN
Banyak yang
beranggapan bahwa pembelajaran afektif bukan untuk diajarkan, seperti pelajaran
Biologi, Fisika ataupun Matematika. Pembelajaran afektif merupakan pembelajaran
bagaimana sikap itu terbentuk setelah siswa memperoleh pembelajaran, oleh
karena itu yang pas untuk afektif bukanlah pengajaran melainkan
pendidikan.Afektif berhubungan sekali dengan nilai (Value) yang sulit diukur
karena menyangkut kesadaran seseorang yang tumbuh dari dalam. Dalam batas
tertentu afektif dapat muncul dalam kejadian Behavioral, akan tetapi penilaian
untuk sampai pada kesimpulan yang dapat di pertanggungjawabkan membutuhkan
ktelitian dan observasi yang terus menerus dan hal ini tidak mudah dilakukan,
dalam proses pembelajaran di sekolah, baik secara disadari maupun tidak guru
dapat menanamkan sikap tertentu kepada siswa melalui proses pembiasaan. Dan
yang paling utama adalah bagaimana cara guru dalam menerapkan strategi ini, dan
bagaimana cara guru tersebut menyelesaikan kesulitan-kesulitan yang sudah pasti
ada dalam suatu strategi.
Yang termasuk kemampuan afektif adalah sebagai
berikut :
a. Menerima
(Receiving) yaitu : kesediaan untuk memperhatikan.
b. Menanggapi
(Responding), yaitu afektif berpartisipasi.
c. Menghargai
(Valuing), yaitu penghargaan kepada benda, gejala, perbuatan tertentu.
d. Membentuk
(Organization), yaitu : memadukan nilai yang berbeda.
e. Berpribadi
(Characterization by Value of value complex), yaitu : Mempunyai sistem nilai
yang mengendalikan perbuatan untuk menumbuhkan gaya hidup yang mantap.
DAFTAR PUSTAKA
Masitoh dan Dewi
Laksmi, Strategi Pembelajaran, Direktorat
Jendral Pendidikan Islam, Jakarta: 2009
Sanjaya
Wina,Strategi Pembelajaran Berorientasi Stan dar Pendidikan.
Kencana.Jakarta : 2008
Sudrajat Ahmad. 8 mei 2008. Model Strategi Yang Afektif.
http// Akhmadsudrajat. Word press. Com
[1]
Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Beroriantasi Standar Proses Pendidikan, Kencana
Prenada Media (2006:Jakarta), h. 273
[2]Ibid,
h. 274
[3]. Masitoh
dan Laksmi Dewi, Strategi Pembelajaran, (Jakarta:
Direktorat Jendral Pendidikan Islam, 2009), h. 201
[4].
Wina Sanjaya,Op.cit, h. 276
[5].
Masitoh dan Laksmi Dewi, Op. cit, h.
203
[7].
Masitoh dan Laksmi Dewi, Op.Cit, h.
208.
[8]. Masitoh
dan Laksmi Dewi ,Op.cit, h. 209.
[9]. Ibid,
h. 210.
[10] Ahmad Sudrajat. 8 mei 2008. Model
Strategi Yang Afektif. http// Akhmadsudrajat. Word press. com
0 komentar:
Posting Komentar