Rabu, 17 September 2014

Perceraian

MAKALAH KELOMPOK 7
WANITA BERCERAI
                                                                                     






DISUSUN OLEH
ADRI HERMAWAN
M. SOLIHIN SIREGAR
NURHAYATI SIREGAR
FITRAH ANDRIANI HARAHAP
SITI ROHIMAH HASIBUAN

 DOSEN PEMBIMBING  : NURUSSAKINAH DAULAY, M.Psi
 MATA KULIAH            : PSIKOLOGI PERKEMBANGAN II
 JURUSAN                     : BIMBINGAN KONSELING ISLAM 2
 FAKULTAS                   : ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

IAIN – SU MEDAN
2014

DAFTAR ISI


DAFTAR ISI ................................................................................................            i
BAB   I      PENDAHULUAN  ....................................................................           1
A.       Pengertian Perceraian..................................................................           1
B.       Faktor-faktor Yang Menjadi Penyebab Perceraian.....................           2
C.       Proses Perceraian ........................................................................           5
D.       Dampak Perceraian......................................................................           5
E.        Mencegah Perceraian...................................................................           7
BAB II LAPORAN PENELITIAN..............................................................         12
BAB III KESIMPULAN..............................................................................         18           
DAFTAR PUSTAKA                                                                                            20

BAB I
PENDAHULUAN
Dalam Hubungan rumah tangga tentunya tidak selamanya berjalan baik, sesuai dengan apa yang telah kita inginkan dari sebelumnya, namun ternyata ada beberapa faktor lain yang secara sengaja atau tidak sengaja menghambat keharmonisan Hubungan keluarga tersebut. Salah satu akibat yang ditimbulkan dengan adanya konflik tersebut ialah perceraian, dimana perceraian bukan lagi hal yang asing di dunia khususnya di Indonesia, perceraian bisa dikatakan hal yang lumrah dan sudah memasyarakat. Perceraian kemudian melahirkan babak kehidupan baru seperti terjadinya peran baru yang disebut Single Parent.
Perceraian tidak saja terjadi pada orang-orang kelas bawah tetapi terjadi pada orang-orang berkelas atas yang mempunyai perekonomian lebih dari cukup, bukan hanya rakyat biasa tetapi perceraian pun bisa terjadi pada seorang public figure salah satunya yang sering teradi pada kalangan artis, musisi, bahkan pada ustad-ustad.
Perceraian akan merugikan beberapa pihak dan perceraian juga sudah jelas dibenci oleh agama (terutama agama Islam). Namun pada kenyataannya walaupun dilarang tetapi perceraian dikalangan masyarakat masih terus semakin banyak bahkan dari tahun ketahun terus meningkat terutama dikalangan para artis, dimana mereka dengan mudah kawin-cerai dengan tidak memperhitungkan akibat psikis yang ditimbulkan dari perceraian tersebut.
Kita sebagai pelajar mestinya tahu bahwa ada beberapa hal  yang mesti diperhatikan bahwa akibat dari perceraian itu sangat fatal sekali, salah satunya terhadap perkembangan sibuah hati, dimana pada saat orang tuanya bercerai ia akan terganggu dan merasa kurangnya perhatian bahkan kasih saying dari orang tua, secara psikis perceraian pasti sangat mempengaruhi pada perkembangan anak, baik itu ketika masih anak-anak bahkan ketika anak mulai menuju remaja.
A.           Pengertian Perceraian
Perceraian menurut Murdock, seharusnya dilihat sebagai sebuah proses seperti halnya perkawinan. Aktivitas itu terjadi karena sejumlah aspek yang menyertainya seperti emosi, ekonomi, sosial dan pengakuan secara resmi oleh masyarakat melalui hukum yang berlaku[1]
Hurlock berpendapat bahwa perceraian merupakan kulminasi dari penyesuaian perkawinan yang buruk, dan terjadi bila antara suami dan istri sudah tidak mampu lagi mencari cara penyelesaian masalah yang dapat memuaskan kedua belah pihak. [2]
Menurut Su’adah, perceraian merupakan suatu proses yang didalamnya menyangkut banyak aspek seperti emosi, ekonomi, sosial dan pengakuan secara resmi oleh masyarakat melalui hokum yang berlaku.[3]
Dari beberapa pengertian sebelumnya, pemakalah menarik kesimpulan bahwa wanita yang bercerai adalah wanita yang mengalami suatu pembubaran pernikahan yang buruk dengan suatu proses emosi, ekonomi, sosial karena suatu sebab tertentu, dan mendapat pengakuan secara resmi oleh masyarakat dan melalui hokum yang berlaku.
B.     Faktor-faktor Yang Menjadi Penyebab Perceraian
Menurut Dagun, memaparkan faktor-faktor penyebab perceraian, antara lain: persoalan ekonomi, perbedaan usia yang besar dan persoalan prinsip hidup yang berbeda. Perbedaan penekanan dan cara mendidik anak, juga pengaruh dukungan dari pihak luar (tetangga, sanak saudara, sahabat dan situasi masyarakat yang terkondisi).[4]
Undang-undang perkawinan No. 1 tahun 1974, menjelaskan bahwa penyebab perceraian terjadi, karena :
a.       Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan sebagainya sekar disembuhkan.
b.      Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama dua tahun berturut-turut tanpa izin yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemauannya.
c.       Salah satu pihak mendapat hukuman penjara lima tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung
d.      Salah satu pihak melakukankekejaman atau penganiyaan berat yang membahayakan terhadap pihak yang lain.
e.       Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit, dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri.
f.       Antara suami dan istri  terus menerus terjadi perselisihan dan tidak ada harapan akan hidup rukun dalam rumah tangga[5]
Menurut Subiyanto, ada sepuluh hal yang dapat mengancam keharmonisan keluarga, yaitu :
a.        Kekecewaan
Pada mulanya mereka berusaha menampilkan diri sesempurna mungkin agar diterima oleh pasangannya, tapi dalam perjalanan waktu mereka menunjukkan dirinya yang sebenarnya. Kekecewaan demi kekecewaan muncul sehingga hidup berpasangan menjadi beban yang melelahkan.
b.        Pelarian
Ketika relasi hampar atau tegang, dan dikepung oleh kekecewaan demi kekecewaan, sementara pasangan itu tidak menemukan jalan keluarnya, reaksi yang sering muncul adalah menghindarinya mencari pelarian
c.         Kebosanan
Perjalanan hidup suami istri diwarnai rutinitas dan monoton yang terkadang membosankan. Hidup menjadi mekanis dan rutin tanpa warna, hampar rasa namun tetap harus dijalani.
d.        Dendam
Entah disengaja atau tidak, melukai atau menyakiti pasangannya adalah kenyataan yang tidak terhindarkan. Tidak jarang pasangan yang terluka terus menyimpan luka itu menajdi dendam dan berusaha menunggu kesempatan untuk membalas melukai pasangannya.
e.         WIL atau PIL
Perselingkuhan yang ditandai dengan hadirnya “orang ketiga” baik pria idaman lain (PIL) maupun wanita idaman lain (WIL), dalam kehidupan perkawinan akan sangat mengancam relasi secara serius. Masuknya orang ketiga sering kalu tidak secara langsung, melainkan melalui proses dimana terjadi gangguan relasi atau pelarian diri.
f.          Gender
Kita dibesarkan dalam suasana paternalistik dimana pria dipandang lebih unggul dari pada wanita. Wanita dikodratkan untuk urusan rumah tangga dan melayani pria, sebaliknya pria bekerja diluar rumah sebagai kepala keluarga. Kondisi ini ikut membentuk cara pandanga dan harapan-harapan kita terhadap pasangan.
g.        Single Parent
Trend baru yang menggejala dinegara maju, yakini gaya hidup sebagai single parent, yaitu orang bisa tanpa pasangannya menjalani pengasuhan anak secara sengaja. Gaya hidup semacam ini akan memacu pasangan untuk berani menagmbil keputusan cerai karena mendapat pembenaran dan penguhan, khususnya bagi pria atau wanita yang memiliki kemandirian tinggi dibidang finansial, bahkan emosional.
h.        Karir
Kebebasan individual dewasa ini memberi peluang bagi setiap orang untuk aktualisasi diri selebar-lebarnya. Ekonomi pasar menjadikan karir bagi seseorang dengan imbalan tanpa batas. Orang bisa tergoda mencurahkan seluruh hidupnya demi karir dengan mengorbankan relasi sebagai orang berpasangan, atau meningkatkan prestasi tidak diimbangi dengan kemampuan berkomunikasi sebagai istri dan suami.
i.          Keluarga
Konsep tentang keluarga sekarang ini mengalami pergeseran dari extended family menuju nuclear family. Dahulu keluarga dipahami sebagai “keluarga besar” yang meluputi bukan hanya ayah, ibu, anak, melainkan sanak saudara yang lain seperti paman, bibi, nenek, kakek, keponakan dan lain-lain. Sebaliknya masyarakat modern lebih mulai berfokus pada “keluarga ini” yakni ayah, ibu, dan anak.
j.          Kawin campur
Konsekuensi dari masyarakat pluralis di bidang agama dan hubungan antar pribadi yang semakin bebas dan terbuka tanpa diskriminasi adalah perkawinan antar agama atau “kawin campur”. Sering terjadi salah satu berusaha mengubah pasangan untuk mengikuti agamanya atau salah satu mengingkari apa yang pernah dijanjikan pada saat pernikahan.
Berdasarkan uraian sebelumnya dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang dapat menjadi penyebab perceraian adalah perselingkuhan atau perzinahan, salah satu pihak melakukan kekerasan dalam rumah tangga, antara suami dan istri terjadi perselisihan dan masalah ekonomi[6]
C.           Proses Perceraian
Scansoni dan Scansoni, menggambarkan bahwa situasi dan kondisi menjelang perceraian bermula dari “stagnasi/mandeknya” proses negosiasi antara pasangan suami-istri. Masing-masing pihak mencoba mengajukan argumentasinya yang dianggap rasional untuk mencari pembenaran sendiri karena dilandasi perasaan-perasaan:
·         Mencoba untuk mulai memaksakan kehendaknya sendiri;
·         Mencari-cari kesalahan pasangannya;
·         Lebih mengupayakan terjadinya konflik daripada mencari jalan keluar untuk kepentingan bersama; 
·         Mencoba untuk menunjukkan kekuasaannya.[7]
D.           Dampak Perceraian
Menurut Karim, konsekuensi utama yang ditanggung oleh mantan pasangan suami-istri pasca perceraian adalah masalah penyesuaian kembali terhadap peranan masing-masing serta hubungan dengan lingkungan sosial (social relationship)[8].
Goode mengamati proses penyesuaian kembali (readjustment) dalam hal perubahan peran sebagai suami-istri dan memperoleh peran baru. Perubahan lain adalah perubahan hubungan sosial ketika mereka bukan lagi sebagai pasangan suami-istri. Penyesuaian kembali ini termasuk upaya mereka yang bercerai untuk menjadi seseorang yang mempunyai hak dan kewajiban individu, jadi tidak lagi sebagai mantan suami atau mantan istri.
Scanzoni and Scanzoni mengatakan pasca perceraian seseorang tidak perlu bersedih dan tidak perlu mengharapkan kembali mantan pasangannya. Alasannya adalah perceraian itu sendiri menandakan adanya rasa benci dan tidak senang hidup bersama lagi. Perceraian tidak harus ditangisi dan seseorang tidak perlu membenamkan dirinya dalam kesedihan atau kedukaan secara berlebihan karena kehilangan banyak yang pernah dimilikinya dan dirasakannya selama hidup bersama pasangannya. Scanzoni dan Scanzoni kembali mendengarkan, mantan pasangan suami istri seyogyanya menyadari bawah “kebersamaan” dan saling ketergantungan diantara mereka telah berakhir.
Perceraian tidak saja membawa dampak bagi pasangan suami-istri, tetapi juga terhadap anak-anak yang lahir dari pasangan itu. Menurut Leslie, reaksi anak terhadap perceraian dapat diukur atau dikenali berdasarkan kualitas perkawinan orang tua,. Berdasarkan penelitian, separuh anak yang berasal dari keluarga tidak bahagia menunjukkan reaksi bahwa perceraian adalah jalan/solusi terbaik untuk keluarganya. Sebaliknya, anak-anak yang berasal dari keluarga yang bahagia lebih dari separuhnya mengatakan kesedihan dan bingung  menghadapi perceraian orang tua.[9]
Selain trauma yang dihadapi anak-anak pasca perceraian, Landis, menemukan bahwa hampir separuh dari anak-anak merasa “dimanfaatkan” oleh salah satu atau bahkan kedua orang tua mereka. “Pemanfaatan” yang dimaksud adalah anak-anak dilibatkan dalam konflik orang tua. Orang tua berusaha menarik simpati anak untuk mencari informasi melalui anak tentang mantan pasangan, menceritakan hal-hal yang tidak benar tentang mantan pasangan, serta melibatkan/memprovokasi anak-anak dalam kondisi permusuhan.[10]
Sementara itu, Lesley mengatakan dampak lain dari perceraian adalah meningkatnya “perasaan dekat” sama dengan ibu serta menurunnya jarak emosional terhadap ayah. Ini terjadi bila anak berada dalam asuhan dan perawatan ibu. Selain itu anak-anak yang orang tuanya bercerai merasa malu dengan perceraian tersebut. Mereka menjadi inferior terhadap anakanak lain. Oleh karena itu tidak jarang mereka berbohong dengan mengatakan bahwa orang tua mereka tidak bercerai atau bahkan menghindari pertanyaanpertanyaan tentang perceraian  orang tua mereka.[11]
Berdasarkan pemafaran sebelumnya dapat disimpukan bahwa perceraian terjadi karena ditimbulkan oleh berbagai macam hal dan dengan adanya perceraian akan membawa permasalahan bagi pihak-pihak yang mengalaminya, terutama bagi para wanita janda cerai yang merasakan dampak dari perceraian. Perceraian juga berdampak pada perkembangan sang anak.
E.            Mencegah Perceraian
Ada beberapa tips yang dapat kita pertimbangkan, saat rumah tangga kita berada diambang perceraian. Berikut adalah beberapa diantaranya[12]:
1.        Cari  Sumbernya
Ada asap pasti ada api. Demikian juga halnya dengan kehidupan rumah tangga. Keputusan untuk bercerai tentunya bukan tanpa sebab. Karena itu, carilah sumber dari hal ini. Jika sumber permasalahannya sudah dapat ditemukan, cobalah untuk menyelesaikan dengan baik-baik. Sebab setiap masalah tentu mempunyai jalan keluar. Apapun masalah yang menjadi sumber dari keputusan cerai yang akan diambil, sebaiknya pertimbangkan dengan matang. Sebab, jika kita sudah menemukan sumber permasalahannya, maka keputusan yang tepat akan dapat diambil, apakah akan meneruskan keputusan untuk bercerai, atau tidak.
2.        Introspeksi
Bila Anda sudah mengetahui penyebab kenapa Anda atau suami ingin bercerai, cobalah untuk berintropeksi. Ini yang seringkali sulit dilakukan. Pasalnya, masing-masing pasangan pasti merasa dirinyalah yang benar. Mereka tak bakal bisa menerima kenyataan bahwa merekalah pangkal sebab munculnya niat cerai. Mungkin, Anda malu mengakui secara jujur kekurangan Anda, tapi cobalah menjawab dengan jujur pada diri sendiri bahwa yang dikatakan pasangan Anda ada benarnya. Mumpung masih ada waktu, kenapa tak Anda coba perbaiki dari sekarang? Tentu, suami pun harus melakukan hal serupa. Bisa jadi, ialah yang membuat perkawinan menjadi goyah dan tak harmonis lagi.
3.        Jangan membesarkan masalah
Jika Anda dan suami sudah tahu sumber keributan dan konflik dalam rumahtangga, sebaiknya jangan memperbesar masalah. Juga, jangan mencari masalah baru. Pasalnya, ini justru akan memperkeruh suasana. Bila Anda menyadari kekurangan yang ada, tak ada salahnya meminta maaf. Tidak perlu malu dan berusaha menjadi istri yang baik seperti yang diharapkan suami. Cobalah untuk mencari solusi sebaik-baiknya.
4.        Pisah sementara
Meski sepertinya sangat tak enak, cara ini bisa menjadi jalan terbaik untuk menghindari perceraian. Pisah untuk sementara waktu akan membantu suami-istri untuk menenteramkan diri sekaligus menilai, keputusan apa yang sebaiknya ditempuh. Kenapa harus pisah rumah? Pasalnya, dua hati yang sama-sama sedang panas, sebaiknya tak bertemu setiap hari. Jika setiap hari bertemu, yang terjadi bukan membaik, malah justru bakal semakin panas. Bisa-bisa ribut terus dan tidak ada titik temu. Yang dibahas setiap hari pasti akan balik ke masalah yang itu-itu saja. Anda bisa misalnya “mengungsi” dulu ke rumah orang tua, sementara suami pindah dulu sementara ke rumah orang tuanya. Pisah rumah akan membantu mendinginkan hati yang sedang memanas, sehingga Anda dan suami dapat berpikir jernih.
5.        Komunikasi
Apapun, komunikasi merupakan fondasi sebuah hubungan, termasuk hubungan dalam perkawinan. Tanpa komunikasi, hubungan tak bakal bisa bertahan. Jadi, seberat apapun situasi yang tengah Anda hadapi, sebaiknya tetap lakukan komunikasi dengan pasangan. Bahkan setelah Anda dan suami sama-sama hidup terpisah, cobalah untuk tetap berkomunikasi. Coba diskusikan bersama, langkah terbaik apa yang bisa Anda berdua lakukan untuk menghindari perceraian, untuk mempertahankan mahligai rumahtangga. Tak mudah memang, tapi jika Anda berdua sudah berpisah untuk sementara waktu, situasi panas barangkali sudah lewat, sehingga Anda berdua sudah siap untuk berkomunikasi. Jangan merasa malu atau gengsi untuk saling menghubungi.
6.        Libatkan keluarga
Jika kenyataannya, pasangan sudah tidak dapat diajak berkomunikasi atau selalu berusaha menghindar, cobalah libatkan anggota keluarga yang memang dekat dengannya. Orang tua, kakak atau pamannya misalnya. Pokoknya, siapa saja yang Anda rasa bisa Anda ajak berbicara. Tentu, Anda jangan pernah menutupi akar permasalahan yang ada kepada mereka, tetapi berterus teranglah. Katakan juga, apa sebetulnya kekurangan Anda maupun kekurangan suami. Siapa tahu, mediator ini dapat melunakkan hati Anda dan pasangan, sekaligus mencarikan solusi untuk kembali bersatu.
7.        Cari teman curhat
Menghadapi perceraian tentu akan membuat pikiran runyam, pekerjaan terbengkalai dan bingung harus berbuat apa. Nah, kondisi tidak nyaman ini bisa Anda atasi bila Anda bisa berbagi dengan orang terdekat, sahabat misalnya. Dengan berbagi, beban pikiran Anda akan terasa lebih ringan. Yang harus dicermati, jangan mencari teman curhat yang lawan jenis. Carilah teman curhat sesama jenis. Pasalnya, bila Anda bercerita, mengungkapkan uneg-uneg Anda pada teman pria, belum tentu sepenuhnya ia akan mendukung Anda untuk kembali bersatu dengan suami. Bisa jadi ia malah menggoda Anda, dan jika Anda akhirnya benar-benar tergoda, yang muncul akhirnya malah masalah baru.


8.        Ingat anak
Anak biasanya menjadi senjata terampuh untuk meredam konflik antara suami-istri. Jadi, bila ternyata antara Anda dan suami sama¬sama menginginkan perceraian, cobalah ingat anak-anak Anda, buah cinta kasih Anda dan suami. Ingatlah bahwa mereka masih sangat membutuhkan Anda dan suami. Apakah mereka harus menjadi korban perceraian karena keegoisan orang tuanya? Lantas, setelah Anda bercerai, kemana dan kepada siapa mereka harus ikut, Anda atau suami? Jika Anda menyayangi mereka, pikirkan kembali keputusan tersebut.
9.        Kesampingkan ego pribadi
Jika Anda memang masih menginginkan keutuhan rumahtangga, segera buang jauh-jauh ego yang ada dalam diri Anda. Jangan merasa diri selalu benar dan sealu menyudutkan pasangan, begitu pula sebaiknya. Sadarilah bahwa apa yang terajadi sekarang adalah kesalahan Anda dan suami. Kalaupun selama ini ada sakit hati yang terselip, cobalah untuk saling memberi maaf.
10.    Jujur pada diri sendiri
Jujurlah pada diri sendiri, apakah Anda sudah siap mental untuk berpisah selamanya dengan suami? Perceraian tidaklah semudah yang dibayangkan. Berpisah lalu hidup tenang. Tidak selamanya perceraian membuat kehidupan menjadi bahagia. Bisa jadi justru sebaliknya, lebih hancur. Banyak masalah-masalah di kemudian hari yang berbuntut panjang. Mulai anak, harta gono-gini sampai hubungan antar-keluarga yang ikut tidak harmonis. Jadi, pikirkan kembali jika ingin mengambil keputusan ini. Selain jujur, Anda juga harus mengedepankan rasio. Perempuan biasanya memang lebih banyak menggunakan perasaan, namun untuk soal seberat ini jangan hanya perasaan. Pertimbangkan benar, apa dampaknya bagi Anda dan keluarga jika perceraian itu benar-benar terjadi.
11.    Banyak berdoa
Banyak berdoa dan mendekatkan diri pada Yang Maha Kuasa dapat membantu permasalahan Anda. Mintalah petunjuk dari-Nya. Dengan semakin bertekun dan mendekat kan diri, insya Allah doa Anda akan terjawab.

12.    Buka lembaran baru
Jika Anda dan suami akhirnya bisa kembali rukun, maka Anda harus siap membuka lembaran baru bersama suami. Jangan pernah mengungkit-ungkit persoalan dan penyebab Anda berdua pernah berniat untuk bercerai. Sekali Anda mengungkit-ungkit, bisa jadi Anda akhirnya akan benar-benar bercerai. Yang paling penting adalah saling mengingatkan dan memperbaiki kekurangan-kekurangan yang ada.



BAB II
LAPORAN PENELITIAN

Dalam melengkapi makalah, kami melakukan penelitian terhadap seorang ibu yang telah lama bercerai dengan suaminya dan menjadi single parent yang tinggal di Jl. Letdan Soejono Gg. Pisang, Medan. Penelitian kami lakukan dengan tempo dua hari dengan observasi langsung terhadap Ibu X, pada hari pertama kami hanya berbincang dan berkenalan untuk memastikan bahwa ibu ini memang benar seorang single parent. Pada hari kedua kami mulai melakukan observasi dengan wawancara langsung, berikut ini adalah simulasi percakapan antara kami dengan ibu X:

Mahasiswa      :      Bagaimana keadaan ibu setelah bercerai dengan suami ?
Ibu X              :      No problem, keadaan saya seperti ibu dari seorang anak pada umumnya.
Mahasiswa      :      Biasanya setahu kami seorang wanita yang telah bercerai akan mengalami keadaan yang bisa dibilang depresi atau lain sebagainya, mengapa ibu tidak seperti itu?
Ibu X              :      Depresi sih pernah, tapi bukan karena perceraian ini, namun karena memikirkan anak saya, dan itu semua sekarang sudah menjadi hal yang biasa saya hadapi, karena perceraian ini saya yang menginginkannya jadi wajar dong saya tidak terlalu terbawa kedalam kesedihan.
Mahasiswa      :      Sebelumnya maaf ni bu, sudah berapa lama ibu bercerai dengan suami ibu?
Ibu X              :      Dengan suami yang mana nih dek?
Mahasiswa      :      Maksud ibu?
Ibu X              :      Sebenarnya Ibu sudah bercerai sampai tiga kali!
Mahasiswa      :      (terkejut sebentar) oh, gitu ya bu. Ya dengan suami ketiga saja bu!
Ibu X              :      Ibu sudah bercerai dengan suami selama 13 tahun seusia anak ibu sekarang.
Mahasiswa      :      wah sudah lama juga ya bu. Maaf bu, apa penyebab perceraian ibu dengan suami? kalau boleh tiga-tiganya.
Ibu X              :      Dengan suami yang pertama itu dikarenakan tidak ada pertanggung jawaban sebagai seorang suami. Ya bisa dibilang dalam pemenuhan kebutuhan hidup ibu termasuk mencari sendiri. Jadi wajar dong saya merasa tidak senang dan memutuskan untuk perceraian, dan pernikahan kami hanya bertahan 2 tahun
Mahasiswa      :      Oh gitu, terus bu?
Ibu X              :      Dengan suami yang kedua itu dikarenakan tidak memiliki keturunan, suami saya bilang bahwa saya wanita yang mandul, karena sudah menikah selama 13 tahun belum juga mendapatkan keturunan. Akhirnya saya bertekat untuk membuktikan bahwa saya bukanlah wanita mandul, akhirnya saya putuskan untuk bercerai lagi.
Mahasiswa      :      Begitu ya bu! Bagaimana dengan suami ketiga bu?
Ibu X              :      Di pernikahan ketiga ini adalah pembuktian bahwa saya bukan wanita mandul, walaupun Pernikahan dengan suami ketiga hanya berjalan selama 6 bulan, ini dikarenakan perbedaan pandangan dan pendidikan suami saya yang rendah. pada saat itu saya sedang mengandung selama 3 bulan, saya berpikir bahwa jika saya biarkan anak ini lahir dengan didikan dari suami saya, maka saya yakin anak ini akan menjadi anak yang tidak  jelas jalan hidupnya, dikarenakan suami saya ini bukanlah orang yang berpendidikan dan awur-awuran. Saya menikah dengannya juga dikarenakan mendadak untuk membuktikan saya bukan wanita mandul. Penyesalan pun datang dan saya memutuskan untuk mengambil ancang-ancang perkembangan anak saya kedepan dengan bercerai dengan suami saya.
Mahasiswa      :      Kami mengerti dengan perasaan ibu, diawal perceraian masa sulit apa yang menonjol dalam keseharian ibu?
Ibu X              :      Tidak ada masa sulit yang terlalu berarti, saya hidup dengan enjoy. Karena saya sudah terbiasa mandiri, dan perceraian juga saya yang menginginkan.
Mahasiswa      :      Hmmm...Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari kegiatan apa yang ibu lakukan?
Ibu X              :      Saya bedagang, dan alhamdulilah saya memiliki rumah kos-kosan.
Mahasiswa      :      Wahh, mantap itu bu. Sebelumnya,  apakah ibu pernah mengalami depresi atau sebagainya setelah perceraian ini?
Ibu X              :      Sungguh tidak pernah, namun di perceraian kedua saya sempat mengalami depresi, tapi bukan dikarenakan perceraian, namun dikarenakan tidak mempunyai keturunan yang padahal saya ingin merasakan bagaiamana hamil dan menggendong anak sendiri. Tapi itu semua sudah hilang karena saya sudah memiliki keturunan.
Mahasiswa      :      hmmm, gitu ya bu. Apakah sebelum bercerai ibu pernah merasa khawatir terhadap perkembangan anak ibu berikutnya?
Ibu X              :      Ya, saya khawatir. Maklumlah pada saat itu anak saya masih dalam kandungan dan berusia 3 bulan, saya khawatir setelah dia lahir terhadap pengaruh lingkungannya karena saya rasa dengan tidak adanya suami saya maka akan berkurang pengawasan terhadapnya. Tapi saya akan lebih khawatir lagi jika yang mendidik anak saya itu adalah suami saya, dikarenakan yang saya bilang tadi.
Mahasiswa      :      ohh, iya-iya bu.  Berapa jumlah anak ibu?
Ibu X              :      Anak saya satu, dia laki-laki.
Mahasiswa      :      Bagaimana dengan hak pengasuhan anak ibu, apakah anak tinggal dengan suami atau dengan ibu sendiri?
Ibu X              :      Ya pastinya sama saya dong, kan disaat perceraian anak saya masih dalam kandungan. Dan gak akan pernah saya berikan kepada mantan suami saya.
Mahasiswa      :      Kenapa begitu bu?
Ibu X              :      Ya karena saya tau suami saya kayak gimana, dan sampai sekarang pun mantan suami saya itu tidak pernah memberi nafkah kepada kami, otomatis anak saya pun tidak mau ikut dengannya bahkan tidak mau menganggapnya ayah, bukan saya yang mengajari loh, tapi memang anaknya sendiri yang gak mau.  Jumpa dengan ayahnya saja hanya pada usia satu sampai dua tahun, setelah itu tidak pernah lagi.
Mahasiswa      :      Oh, begitu bu. Apa kendala ibu yang sering muncul sebagai single parent atau mendidik anak ibu sendirian?
Ibu X              :      Ya pastinya dari segi keuangan dong, tau sendiri bagaimana penghasilan saya dengan bedagang. Untuk kehidupan anak yang lebih layak lagi itu lah yang sedikit menjadi kendala. Tapi itu semua sudah saya lupakan, karena buktinya saya bisa bertahan sampai sekarang sekitar 13 tahun, kendala pasti ada tapi kami siap melewatinya.
Mahasiswa      :      Hebat ya bu. Bagaimana respon anak ibu terhadap perceraian ini?
Ibu X              :      Anak saya tidak terlalu peduli, dan pada saat perceraian dia tidak ada respon dong, kan masih dalam kandungan.
Mahasiswa      :      Oh, ia juga bu. Apakah anak ibu pernah mempertanyakan tentang perceraian ini?
Ibu X              :      Tidak pernah, dia hanya sekedar tau saja, karena dia tidak suka dengan ayahnya disebabkan tidak ada kasih sayang dari ayahnya tersebut. Wajar dong anak-anak. Malah  dia menganggap salah seorang teman dekat saya yang menyayanginya sebagai ayahnya, padahal itu hanya teman saya, namun karena sering jumpa dan kasih sayang yang diberikan dan bahkan teman saya itu sendiri yang menyuruh anak saya memanggilnya ayah.
Mahasiswa      :      Oh, gitu. Bagaimana perkembangan belajar anak ibu setelah perceraian ini?
Ibu X              :      Biasa saja seperti anak pada umumnya. Hanya saja dia sangat manja dengan saya, dan di usianya yang ke 13 ini dia juga masih menyusu dengan saya.
Mahasisa         :      hahaha… Mungkin karena hanya tinggal berdua kali bu.
Ibu X              :      Bisa dibilang begitu dek.
Mahasiswa      :      Bagaimana perkembangan pergaulan anak ibu dan ibu sendiri setelah perceraian ini?
Ibu X              :      Anak saya lebih suka bermain dengan anak-anak yang jauh dibawah umurnya bisa dibilang balita. Ya karena tetangga saya jarang anak seusia anak saya dan sudah dewasa-dewasa. Banyak juga tidak jelas kehidupannya, sering melakukan huru hara, jadi saya sedikit memberi pengawasan agar ia tidak bergaul dengan mereka.
Mahasiswa      :      Oh, gitu bu. Terus, bagaimana dengan pergaulan ibu sendiri?
Ibu X              :      Saya juga bergaul dengan masyarakat seperti bisanya ibu-ibu dong, suka ngegosip wajarlah. dan kebetulan saya membuka kedai, jadi setiap hari pada ngumpul di rumah saya.
Mahasiswa      :      ia-ia bu. Sampai sekarang masalah apa yang sering muncul dalam sosial ibu dalam bergaul dengan masyarakat?
Ibu X              :      No problem.
Mahasiswa      :      Maaf ni bu, dengan perceraian ibu? Biasanya kan masyarakat berpikiran negatif terhadap seorang yang bercerai apalagi sekrang ibu seorang janda?
Ibu X              :      Dengan hal itu, masyarakat tidak terlalu peduli ya, wajar dek hidup di perkotaan. Perceraian itu sudah hal yang biasa. Karena saya juga selalu berusaha untuk bermasyarakat dengan baik jadi orang pun baik juga dengan kita. Seperti itukan hukumnya. Kecuali saya melakukan hal-hal negatif pasti deh orang-orangpun jadi benci sama saya.
Mahasiswa      :      Ia deh bu. Maaf sebelumnya bu, apakah ibu pernah berpikir untuk kembali dengan suami ibu ataupun mencari ayah pengganti untuk anak-anak ibu?
Ibu X              :      Untuk kembali tidak, tapi kita juga tidak tau apa ketentuan Allah selanjutnya. Tapi untuk mencari yang baru ada dong. Terutama yang bisa merubah kehidupan kami, saya juga sudah capek terus mencari nafkah sendiri. Dan saya juga ingin pengawasan terhadap anak saya lebih kuat. Dalam hal ini bukan pengekangan.
Mahasiswa      :      Ia bu.  Hal apa yang menjadi motivasi ibu sehingga ibu tetap tabah menjalani hidup sebagai single parent?
Ibu X              :      Simpel saja ya, yang jadi motivasi selama ini ya Anak saya.
Mahasiswa      :      Oh begitu bu. Kalau begitu terima kasih ya bu atas informasinya, kami doakan semoga ibu mendapatkan apa yang ibu inginkan. Dan semoga pertemuan kita kali ini menjadi bermanfaat dan menghasilkan faedah bagi kehidupan kita esok. Amin.
Inti dari percakapan kami adalah ibu X sebagai single parent menjalani hidupnya dengan sewajarnya seorang ibu, beliau sempat mengalami depresi namun tidak berkelanjutan dikarenakan keputusan untuk bercerai adalah keputusannya. Ibu X juga seorang wanita yang terbuka, dengan keterangan-keterangannya yang sangat kompleks terhadap kami, bahkan ada yang seharusnya tidak ada orang yang tau namun ibu ini memberitahukan kepada kami, dengan usia yang dibilang masi produktif yaitu 46 tahun dan berat badan 72 Kg, ibu X masih memiliki niat untuk menikah lagi setelah perceraiannya yang ketiga dikarenakan khawatir terhadap perkembangan anak karena kurangnya pengawasan.




BAB III
KESIMPULAN
Pada umumnya, faktor-faktor penyebab perceraian ialah persoalan ekonomi, perbedaan usia yang besar dan persoalan prinsip hidup yang berbeda. Perbedaan penekanan dan cara mendidik anak, juga pengaruh dukungan dari pihak luar (tetangga, sanak saudara, sahabat dan situasi masyarakat yang terkondisi).
Begitu pula kondisi yang dialami ibu X. dimana dari perceraiannya yang pertama disebabkan karena kurangnya tanggung jawab dari seorang suami terhadap istrinya. Faktor kedua ialah karena tidak adanya keturunan, dan dengan suaminya yang ketiga ialah karena perbedaan pendidikan, penekanan dan cara berpikir dalam rumah tangga maupun dalam pengurusan anak.
Scanzoni and Scanzoni mengatakan pasca perceraian seseorang tidak perlu bersedih dan tidak perlu mengharapkan kembali mantan pasangannya. Alasannya adalah perceraian itu sendiri menandakan adanya rasa benci dan tidak senang hidup bersama lagi. Perceraian tidak harus ditangisi dan seseorang tidak perlu membenamkan dirinya dalam kesedihan atau kedukaan secara berlebihan karena kehilangan banyak yang pernah dimilikinya dan dirasakannya selama hidup bersama pasangannya.
Berdasarkan teori diatas benar bahwa apa yang dialami ibu X pasca perceraian. Beliau tidak pernah bersedih dan tidak berharap kembali lagi pada mantan suaminya tersebut. Hal itu terjadi karena adanya kebencian dan kejenuham membina rumah tangga dengan mantan suaminya tersebut.
Meskipun demikian, pasca perceraian akan menjadikan anak sebagai korbannya. Maksudnya ialah, setelah bercerai seorang anak akan merasa kehilangan kasih sayang yang utuh dari kedua orang tuanya. Apalagi jika seorang ayah tersebut tidak menafkahi anaknya dan memberikan kasih sayang serta perhatian. Namun, berbeda dengan halnya yang dialami oleh anak ibu X, ia merasa tidak begitu membutuhkan ayahnya, karena sejak ia didalam kandungan sekitar 3 bulan kedua orang tuanya telah berpisah. Ia justru menganggap teman dekat ibunya sebagai ayahnya. Hal ini terjadi karena si bapak memberikan apa yang seharusnya diberikan oleh ayah kandung sianak justru diberikan sibapak tersebut kepada anak dari ibu X. Wajar jika hal itu terjadi. Seorang anak akan merasakan kasih sayang jika diberikan dalam bentuk perhatian, dan lain sebagainya.


DAFTAR PUSTAKA
Dagun, S.M. 2002. Psikologi Keluarga. Jakarta: Rineka Cipta.
Hurlock. E.B. 1999. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan (edisi kelima). Jakarta : Erlangga.
Ihromi, T. O. Bunga Rampai Sosiologi Keluarga. Yayasan Obor. 2004. Jakarta.
Rasjidi, L. 1991. Hukum Perkawinan dan Perceraian: Dimalaysia dan Indonesia. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Ottset.
Su’adah. 2003. Psikologi Umum: DalamLitas Sejarah. Bandung: Pustaka Setia.
Suiyanto, P. 2004. Membahagiakan Pasangan: Kiat Mengembangkan dan Memperdalam Relasi Suami Istri. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.


[1]Ihromi, T. O. Bunga Rampai Sosiologi Keluarga. Yayasan Obor. 2004. Jakarta. Hlm. 135
[2]Hurlock. E.B. 1999. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan (edisi kelima). Jakarta : Erlangga. Hlm. 307
[3]Su’adah. 2003. Psikologi Umum: DalamLitas Sejarah. Bandung: Pustaka Setia. Hlm. 214
[4]Dagun, S.M. 2002. Psikologi Keluarga. Jakarta: Rineka Cipta. Hlm. 114
[5] Rasjidi, L. 1991. Hukum Perkawinan dan Perceraian: Dimalaysia dan Indonesia. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Ottset. Hlm. 195
[6] Suiyanto, P. 2004. Membahagiakan Pasangan: Kiat Mengembangkan dan Memperdalam Relasi Suami Istri. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama. Hlm. 14
[7] Ihromi. Op.Cit. Hlm. 1367
[8] Ibid. Hlm. 156
[9] Ibid. Hlm. 160
[10] Ibid. Hlm. 160
[11]Ibid . Hlm. 161

0 komentar:

Posting Komentar

 
;